Banda Aceh (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso berkomitmen untuk memperjuangkan realisasi hak-hak korban pelanggaran HAM berat dari tiga kasus yang sudah diakui oleh pemerintah, tetapi belum dituntaskan sepenuhnya.
"Kami berkomitmen untuk memperjuangkan ini supaya di eksekusi, sehingga apa yang telah menjadi komitmen negara dapat dituntaskan kepada rakyat, khususnya korban pelanggaran HAM berat di Aceh," kata Sugiat Santoso, di Banda Aceh, Kamis.
Dirinya mengatakan, Komisi XIII bersama Komnas HAM berkomitmen selalu hadir di tengah masyarakat, apalagi mereka sudah mendapatkan dapat informasi bahwa ada beberapa persoalan yang mungkin belum dituntaskan oleh negara.
Baca juga: Masyarakat sipil minta Komnas HAM lanjutkan penyelidikan HAM berat Aceh
Salah satunya, yaitu terkait pemberian kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum sepenuhnya terealisasi di Aceh.
Dirinya memahami bahwa pemerintah sedang mengalami keterbatasan fiskal. Meski demikian, pihaknya akan berkoordinasi dengan kementerian terkait realisasi kompensasi korban pelanggaran HAM tersebut bisa dituntaskan pada anggaran tahun ini.
"Skemanya nanti kita perjuangkan secara bersama-sama. Maka, kita mohon doa dan dukungan dari semua, media, civil society supaya
ini tidak berlarut-larut," ujar Sugiat Santoso.
Hal senada juga disampaikan anggota Komisi XIII DPR RI asal Aceh, Samsul Bahri Tiyong menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia sudah mengakui tiga kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh yaitu kasus Rumoh Geudong Pidie, Simpang KKA Aceh Utara dan Jambo Keupok Aceh Selatan.
Tetapi, pemberian kompensasi seperti yang telah dijanjikan oleh pemerintah terhadap korban dari kasus pelanggaran HAM berat tersebut belum terselesaikan sepenuhnya.
"Kami Komisi XIII DPR RI bersama-sama kita kawal agar proses kompensasi yang dijanjikan harus ditindaklanjuti, realisasi sepenuhnya demi kenyamanan dan keamanan untuk wilayah Aceh dan Indonesia secara keseluruhan," kata Tiyong.
Terkait hal ini, Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro mengatakan bahwa mekanisme penyelesaian kasus berat secara non yudisial ini sempat terhenti karena adanya pergantian pemerintahan.
Karena itu, pihaknya segera memastikan kembali kepada pemerintah, mengingat penyelesaian non yudisial ini sebelumnya berada di bawah Kemenkopolhukam. Tetapi, sudah dileburkan menjadi dua kementerian yaitu Kemenko Politik dan Keamanan dan Kemenko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Kemasyarakatan.
"Kami koordinasikan, kemarin kami sudah bertemu dengan Menko Polkam, dan kami akan bertemu kementerian lainnya untuk memastikan siapa nanti yang bertanggung jawab untuk menindaklanjuti mekanisme non yudisial tersebut," katanya.
Dirinya menuturkan, dari sekitar lima ribu nama korban pelanggaran HAM berat yang telah diajukan untuk pemulihan, tetapi sampai dengan hari ini masih cukup minim mendapatkan hak mereka.
Ia berharap semua hak-hak pemulihan untuk korban pelanggaran HAM berat termasuk Aceh dapat segera ditindaklanjuti. Serta harus menjadi prioritas pemerintah, dan komisi XIII DPR RI dapat mendukungnya.
"Kami harap hal tersebut dapat ditindaklanjuti karena sebagian besar korban pelanggaran HAM berat belum mendapatkan pemulihan," demikian Atnike Nova Sigiro.
Baca juga: 29 rumah untuk korban pelanggaran HAM berat di Aceh, ini anggarannya
Pewarta: Rahmat FajriEditor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025