Banda Aceh (ANTARA) - Guru Besar Jurusan Ekonomi Manajemen FEB Universitas Syiah Kuala (USK) Prof Said Munasdi mengusulkan agar Pemerintah Aceh memprioritaskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) untuk sektor pertanian dan perikanan sebagai respons terhadap kebijakan efisiensi fiskal dari pemerintah pusat.

“Anggaran yang ada harus diarahkan untuk mendukung sektor pertanian dan perikanan yang menjadi tulang punggung ekonomi Aceh, bukan untuk belanja birokrasi yang kurang produktif,” kata Prof Said Munasdi di Banda Aceh, Jumat.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (PMK) RI Nomor 29 Tahun 2025, dana transfer daerah untuk Aceh baik Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan otonomi khusus (otsus) yang semula ditetapkan dalam APBN 2025 sebesar Rp8,25 triliun, turun menjadi Rp7,93 triliun, berkurang sebesar Rp317 miliar.

Khusus untuk dana otsus Aceh 2025, dari semula ditetapkan dalam APBN mencapai Rp4,466 triliun juga turun menjadi Rp4,309 triliun, dengan kata lain berkurang sebesar Rp156 miliar.

Prof Said menyarankan agar Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran yang tersedia pada sektor yang berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Menurut dia, kekuatan ekonomi Aceh berada pada sektor pertanian dan perikanan. Hal ini selaras dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi di Aceh sebesar 4,66 persen didominasi oleh sektor pertanian yang menyumbang 30,97 persen.

Namun, dirinya menyayangkan sektor-sektor tersebut masih lemah dan menghadapi berbagai kendala.

“Petani masih kesulitan mengakses pupuk, terbatasnya alat pertanian seperti traktor, serta infrastruktur irigasi yang belum memadai. Sementara di sektor perikanan, banyak nelayan hanya mampu beroperasi di perairan dangkal karena keterbatasan peralatan dan sumber daya ikan semakin bergeser ke laut lepas akibat perubahan iklim dan pencemaran,” katanya.

Baca: Nilai tukar petani Aceh turun 0,80 persen pada Januari 2025

Karena itu, lanjut dia, anggaran harus difokuskan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut agar pemotongan anggaran tidak memperparah kondisi sektor-sektor yang menjadi kekuatan ekonomi Aceh.

"Jika kita serius ingin membangun ekonomi Aceh, maka anggaran harus difokuskan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Jangan sampai pemotongan anggaran justru memperparah kondisi sektor-sektor yang sebenarnya bisa menjadi kekuatan ekonomi kita," katanya.

Selain itu, Prof Said menilai strategi menarik investor ke Aceh kurang efektif. Oleh karena itu, dirinya menyarankan Aceh fokus membangun ekonomi dengan memanfaatkan keahlian dan sumber daya lokal, khususnya di sektor pertanian dan perikanan.

"Daripada bergantung pada investor yang belum tentu datang, lebih baik kita fokus memperkuat sektor yang sudah kita kuasai. Dengan kebijakan yang tepat, Aceh bisa menciptakan ketahanan ekonomi tanpa harus terus berharap pada dana dari pusat," katanya.

Ia juga mengingatkan agar pemerintah mengevaluasi pembangunan infrastruktur yang kurang produktif, seperti gedung-gedung terbengkalai dan proyek yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

"Kita harus memastikan bahwa anggaran digunakan untuk proyek yang benar-benar berdampak pada masyarakat, bukan sekadar untuk memenuhi kepentingan tertentu.," katanya.

Kendati demikian, Prof Said meminta agar Pemerintah Aceh tetap melakukan advokasi ke pemerintah pusat agar pengurangan dana transfer ke Aceh tidak terjadi, sebab dapat menghambat upaya pengentasan kemiskinan, mengingat Aceh masih bergantung pada transfer fiskal dari pusat.

“Pemerintah Aceh dan anggota dewan harus melakukan negosiasi dengan pusat agar efisiensi anggaran ini tidak serta merta berarti pengurangan dana bagi Aceh. Jika pemotongan tetap dilakukan, maka anggaran yang tersisa harus dialokasikan secara efektif,” katanya. 

Baca: Lahan sawah puso di Aceh akibat banjir capai 397 hektare
 



Pewarta: Nurul Hasanah
Editor : M.Haris Setiady Agus
COPYRIGHT © ANTARA 2025