Banda Aceh (ANTARA) - Kejaksaan Negeri Bireuen, Provinsi Aceh, menyatakan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) menyetujui penyelesaian kasus penganiayaan berdasarkan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ).

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bireuen Munawal Hadi di Banda Aceh, Rabu, mengatakan perkara penganiayaan tersebut dengan dua tersangka berinisial Z dan F serta korban berinisial MAG.

"Perkara penganiayaan tersebut diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif setelah korban dengan kedua tersangka berdamai. Para Tersangka juga berjanji tidak mengulangi perbuatannya," katanya.

Baca juga: Keadilan restoratif jadi solusi kasus penganiayaan kepala desa Bireuen

Sebelumnya, kata dia, pihaknya menggelar ekspose penyelesaian perkara penganiayaan berdasarkan keadilan restoratif dengan tersangka Z dan F secara virtual.

Ekspose dilakukan bersama Direktur Orang dan Harta Benda (Orharda) Jampidum Kejaksaan Agung Nanang Ibrahim serta Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Yudi Triadi.

Berdasarkan ekspose tersebut, Jampidum menyetujui penyelesaian perkara penganiayaan dengan tersangka Z dan F, kata Munawal Hadi

"Dengan adanya persetujuan tersebut, maka jaksa penuntut umum Kejari Bireuen tidak melanjutkan penyelesaian perkara tersebut ke pengadilan," katanya.

Munawal Hadi menyebutkan penganiayaan terjadi sebuah kilang padi di Desa Seuneubok Nalan, Kecamatan Peulimbang, Kabupaten Bireuen, pada 14 Maret 2025 sekira pukul 17.45 WIB.

Saat itu, korban MAG terlibat cekcok mulut dengan seseorang berinisial I. Kemudian, datang Z dan F menghampiri MAG dan memukuli kepalanya beberapa kali menggunakan tangan.

Aksi tersebut dilerai warga bernama Yusri dan membawa MAG ke Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Fauziah Kabupaten Bireuen guna mendapatkan penanganan medis

"Perbuatan tersangka Z dan F melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman paling lama dua tahun delapan bulan penjara," kata Munawal Hadi.

Kajari Bireuen menyebutkan penyelesaian perkara berdasarkan restoratif merupakan tindak lanjut program Jaksa Agung, di mana penyelesaian sebuah perkara tidak harus melalui proses peradilan atau persidangan di pengadilan.

Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara adalah upaya terakhir, sehingga apabila ada persoalan hukum diupayakan diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif dan tidak harus ke pengadilan, kata Munawal Hadi.

Sarat penyelesaian perkara hukum berdasarkan keadilan restoratif di antaranya, para pihak, baik korban maupun pelaku sudah berdamai serta pelaku berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban juga tidak lagi menuntut.

Persyaratan lainnya, pelaku baru pertama melakukan tindak pidana, bukan residivis atau orang yang pernah menjalani pidana. Serta ancaman pidananya kurang dari lima tahun. 

"Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh, di mana penyelesaian sebuah perkara dimusyawarahkan kedua pihak yang disaksikan tokoh masyarakat," kata Munawal Hadi.

Baca juga: Kejari Bireuen damaikan tiga tersangka penganiayaan



Pewarta: M.Haris Setiady Agus
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025