Banda Aceh (ANTARA) - Nutrition Officer Unicef Perwakilan Aceh, dr Natasya Phebe menyebutkan tablet tambah darah (TTD) bukan obat dan tidak menyebabkan kemandulan. 

Pernyataan ini disampaikan Natasya di Banda Aceh, Jumat, guna meluruskan hoaks yang berkembang terutama di masyarakat Aceh yang meyakini TTD sama seperti pil kontrasepsi hormonal (pil KB) dan dapat menyebabkan kemandulan. 

“Khusus di Aceh berkembang hoaks kalau TTD itu bisa sebabkan mandul, itu tidak benar karena dia bukan obat tetapi suplemen,” katanya. 

Ia menjelaskan bahwa TTD merupakan suplemen yang berfungsi untuk mencegah anemia yang berisiko tinggi terjadi kepada remaja putri akibat mengalami kehilangan darah saat menstruasi.

“Kadang-kadang kita lupa kalau perempuan ada risiko lebih besar terjadi anemia karena setiap bulannya mengalami menstruasi,” katanya. 

Selain itu, dia juga menepis hoaks lainnya yang berkembang akibat mengonsumsi TTD, seperti menyebabkan tinja berwarna hitam hingga mual.

Dia menjelaskan bahwa tinja yang berwarna hitam setelah mengonsumsi TTD merupakan hal yang normal, sedangkan efek samping mual hanya muncul apabila dikonsumsi sebelum sarapan.

Baca: Remaja putri di Banda Aceh diimbau konsumsi TTD untuk cegah anemia

“Dia berefek samping mual hanya kalau tidak makan. Harus ada edukasi sarapan dulu terutama saat minum TTD. Terus, kalau tinja warna hitam itu warna alami zat besi,” katanya.

Kata dia, konsumsi TTD secara rutin penting dilakukan bukan karena program pemerintah, tetapi ini merupakan investasi kesehatan jangka panjang bagi tiga generasi mendatang.

“Terutama remaja perempuan ke depan akan menjadi calon ibu. Kalau calon ibu mengalami  anemia maka ke depan ada risiko yang fatal. Pertama, risiko pendarahan hingga meninggal dan kedua melahirkan bayi dengan kondisi cacat,” katanya. 

Namun, dia menyayangkan masih banyak remaja putri di Aceh yang belum teredukasikan dengan baik tentang manfaat pentingnya konsumsi TTD.

Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, alasan remaja putri di Aceh tidak mengonsumsi TTD adalah 52,1 persen tidak tahu, 16,8 persen tidak merasa tidak perlu/tidak bermanfaat, dan 13 persen tidak diberikan petugas.

Alasan lainnya, sebanyak 4,4 persen remaja putri di Aceh enggan konsumsi TTD karena rasa dan baunya tidak enak, 4 persen karena menganggapnya sebagai obat, lalu 2,7 persen karena menimbulkan efek samping.

Karena itu, Natasya berharap bahwa dengan adanya edukasi yang lebih masif, stigma dan kesalahpahaman terkait TTD bisa dihilangkan. 

“Kita perlu membangun pemahaman bahwa mengonsumsi TTD bukan hanya untuk kesehatan remaja saat ini, tetapi juga untuk masa depan mereka dan anak-anak mereka kelak," katanya. 

Baca: Unicef sosialisasi aksi bergizi bagi dayah di Aceh cegah anemia pada remaja
 



Pewarta: Nurul Hasanah
Editor : M.Haris Setiady Agus
COPYRIGHT © ANTARA 2025