Banda Aceh (ANTARA) - Dalam sepekan terakhir, isu empat pulau begitu hangat diperbincangkan masyarakat Aceh, tepatnya setelah Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution berkunjung ke Pendopo Meuligoe Gubernur Aceh pada Rabu, 4 Juni 2025 itu.
Bobby yang datang bersama Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu bertemu Gubernut Aceh Muzakir Manaf atau Mualem untuk membahas tentang pengalihan empat pulau (Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek), dari bagian Kabupaten Aceh Singkil, menjadi bagian dari KaupatenTapanuli Tengah, Sumut, berdasarkan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 dan ditetapkan pada 25 April 2025.
Keputusan Mendagri menuai penolakan dari pihak Aceh, karena Aceh mempunyai keyakinan dengan bukti yang kuat bahwa empat pulau tersebut milik tanah rencong, dan harus dikembalikan.
Setelah itu, suara-suara dari seluruh elemen di Aceh mulai diteriakkan, baik itu dari masyarakat sipil, anggota DPR/DPD RI hingga Pemerintah Aceh sendiri bertekad untuk mengembalikan empat pulau ke pangkuan Serambi Mekkah.

Baca juga: Wali Nanggroe: Keputusan Presiden bentuk penghormatan terhadap Aceh
Mualem menjadikan masalah pengembalian empat pulau ini sebagai prioritas, karena Aceh berkewajiban mempertahankan hak-haknya.
Jumat malam, 13 Juni 2025, mantan Panglima GAM itu mengumpulkan anggota DPR Aceh, Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI asal Aceh, ulama, akademisi serta stakeholder lainnya untuk membahas dan menentukan sikap atas sengketa empat pulau itu.
Rapat tersebut akhirnya menghasilkan surat keberatan atas Keputusan Mendagri yang mengalihkan empat pulau Aceh ke Sumatera Utara. Surat protes dilayangkan, serta dibarengi langkah advokasi bersama untuk pengembalian pulau tersebut.
Mualem menegaskan, ada tiga langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa pulau itu, pertama secara kekeluargaan, lalu administratif dan politis. "Pada intinya, Kemendagri harus mengembalikan empat pulau itu untuk Aceh" ujarnya.
Selain itu, kesepakatan rapat itu juga memutuskan bahwa Aceh tidak bakal membawa masalah empat pulau tersebut ke ranah pengadilan dalam hal ini PTUN (pengadilan tata usaha negara).
Langkah hukum dinilai tidak diperlukan karena empat pulau itu berdasarkan nilai historis, kependudukan, bangunan, hingga aktivitas masyarakat di sana menunjukkan kepemilikan Aceh yang kuat.
"Poinnya (surat keberatan) itu, pertama hak kita, bukti dan data hak kita, kemudian secara historis hak kita. Secara penduduk kita, secara geografis hak kita, saya rasa seperti itu, itu saja kita pertahankan," tegas Mualem.
Salah satu bukti kuat yang dimiliki Aceh atas kepemilikan empat pulau itu adalah surat kesepakatan bersama antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara tahun 1992 yang menentukan status kepemilikan empat pulau itu.
Kesepakatan bersama 1992 tersebut, ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dengan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, dan disaksikan langsung oleh Mendagri Rudini. Kemudian, bukti tersebut menjadi pertimbangan Presiden dan Mendagri untuk pengembalian empat pulau tersebut ke Aceh.
Baca juga: Gubernur Aceh harap polemik 4 pulau usai, Mualem: tak ada yang dirugikan
Perdamaian
Polemik empat pulau ini menjadi ujian bagi perdamaian Aceh. Pasalnya, permasalahan batas wilayah Aceh juga tertuang dalam perjanjian damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada 2005 silam.
Inisiator Perdamaian Pemerintah RI-GAM, yang juga mantan Wakil Presiden RI ke 10 dan 12, M Jusuf Kalla menyatakan bahwa secara historis empat pulau tersebut milik Aceh. Hal ini, dikuatkan adanya kesepakatan perundingan damai atau MoU Helsinki.
Pada perundingan tersebut disepakati bahwa perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan yang dicantumkan dalam UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno.
"Ada di Pasal 1.1.4 yang berbunyi perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956. Jadi, pembicaraan atau kesepakatan Helsinki itu merujuk ke situ," ujarnya.
Setelah Presiden mengembalikan empat pulau ke Aceh, Jusuf Kalla berharap polemik ini menjadi pembelajaran bersama.
"Apabila ingin membuat keputusan atau apa saja yang berhubungan dengan Aceh, harus sepengetahuan dan konsultasi serta persetujuan dengan Pemerintah Aceh, tetapi ini tidak dilakukan," kata Jusuf Kalla.
Ketua Mualimin Aceh sekaligus Wakil Ketua GAM Pusat, Darwis Jeunib menegaskan empat pulau tersebut milik Aceh dari zaman dahulu sesuai kesepakatan damai.
Ia menegaskan, empat pulau itu menjadi harga mati bagi bangsa Aceh. Pemerintah Pusat diminta komit dalam menjalankan semua amanat perjanjian damai MoU Helsinki 2005.
Baca juga: Santri di Aceh Barat gelar doa bersama pertahankan empat pulau milik Aceh
Pulau kembali
Polemik empat pulau ini berakhir setelah Presiden RI Prabowo Subianto melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi memutuskan status empat pulau itu kembali masuk dalam wilayah administratif Provinsi Aceh.
Pegangan kuat dalam penetapan ini adalah temuan dokumen penting yaitu kesepakatan batas wilayah antara Aceh dan Sumut yang tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 111 Tahun 1992, ditandatangani pada 24 November 1992.
"Dokumen ini sangat penting karena berbentuk asli, bukan fotokopi. Dalam konteks hukum, dokumen asli memiliki kekuatan pembuktian yang jauh lebih kuat dibanding salinan," kata Mendagri Tito Karnavian.
Dokumen ini menunjukkan adanya pengakuan yang menguatkan bahwa kesepakatan antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar yang disaksikan Mendagri saat itu, Rudini, benar sah adanya.
Dokumen tersebut juga merujuk pada Peta Topografi TNI AD tahun 1978, yang secara eksplisit menunjukkan bahwa keempat pulau berada di luar wilayah Sumatera Utara dan masuk dalam batas administratif Aceh.
Atas dasar itu, pemerintah secara resmi menetapkan bahwa empat pulau yang selama ini menjadi sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, secara administratif kembali masuk ke dalam wilayah Aceh.
Keputusan Presiden ini disambut positif oleh semua pihak di Aceh mulai dari akademisi, eks pentolan GAM hingga Wali Nanggroe Aceh, dan ini dinilai sebagai bentuk penghormatan, cinta Presiden Prabowo terhadap tanah rencong.
Eks Kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto.
"Kami dari pihak GAM, terima kasih banyak kepada bapak Presiden yang sudah memutuskan bahwa empat pulau itu memang milik Aceh," kata Ketua Mualimin Aceh sekaligus Wakil Panglima GAM Pusat, Darwis Jeunib.
Menurutnya, keputusan yang mengembalikan status empat pulau kembali ke Aceh tersebut dinilai karena Presiden Prabowo Subianto mengetahui bagaimana sejarah Aceh.
"Tiga kali saya ucapkan terima kasih banyak, bapak Presiden memang luar biasa, Pak Presiden tahu sejarah Aceh," tegas Darwis Jeunib.
Baca juga: Aceh garap semua potensi di empat pulau yang baru dikembalikan
Pengelolaan
Momentum pengembalian empat pulau ke Aceh ini jangan hanya sekedar menjadi pertanda kepemilikan wilayah saja, tetapi harus menjadi pelajaran agar segera dibuat sebuah regulasi sebagai payung hukum di masa mendatang, baik terhadap pulau bersengketa itu maupun wilayah lainnya di Aceh.
Majelis Pengurus Wilayah Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Aceh menyarankan kepada DPR Aceh dan Pemerintah Aceh untuk membentuk Qanun (peraturan daerah) Aceh tentang Perlindungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Aceh.
"Saya kira sudah saatnya kita membutuhkan payung hukum yang kuat bagi Aceh untuk melindungi dan mengelola pulau-pulau kecil yang masuk dalam wilayah Aceh," kata Ketua ICMI Aceh, Taqwaddin Husin.
Dia mengajak semua pihak menjadikan momentum ini sebagai pembelajaran agar kedepannya benar-benar fokus dan serius mengelola pesisir serta pulau-pulau kecil.
Kedepan, Pemerintah Aceh perlu memikirkan peningkatan frekuensi transportasi udara sebagai konektivitas ke kawasan tersebut, mengingat, akses ke sana cukup jauh dari ibu kota provinsi Aceh.
Terkait dengan keberadaan pulau-pulau kecil yang dimiliki Aceh, Taqwaddin mengingatkan bahwa pulau-pulau itu harus segera dikelola. Pengelolaan tidak hanya berorientasi bisnis, tetapi, bisa juga dengan melakukan upaya konservasi untuk pengelolaan aneka ragam binatang dan tumbuhan di pulau-pulau kecil itu.
"Apalagi, di wilayah tersebut sebelumnya pernah diisi penyu-penyu biru berukuran satu meter. Juga ada tumbuhan akar bahar. Tapi apakah sekarang masih ada?" ujar Taqwaddin.
Hal senada juga disampaikan anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman Haji Uma berharap Pemerintah Aceh segera mengambil langkah cepat untuk mengelola pulau-pulau tersebut secara maksimal, dan harus segera diisi dengan pembangunan yang bisa mendatangkan berksh ekonomi bagi warga lokal.
"Pemerintah Aceh harus hadir, membangun, dan menunjukkan bahwa pulau-pulau ini tidak dibiarkan kosong. Harus ada kegiatan nyata, pembangunan, dan pengelolaan agar benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat," kata Sudirman.
Baca juga: Ruslan Daud: Keputusan Presiden kembalikan empat pulau ke Aceh sangat tepat
Kearifan Presiden
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry Banda Aceh, Prof Mujiburrahman menilai keputusan Presiden yang mengembalikan status empat pulau tersebut sebagai bentuk nyata kearifan dan keberpihakan terhadap sejarah, identitas, dan hak-hak masyarakat Aceh.
"Karena, di sana terdapat makam tua, pelabuhan tradisional, dan jalur ekonomi yang menopang kehidupan masyarakat pesisir Aceh. Artinya, bukan sekadar soal wilayah, tapi tentang identitas dan keberlangsungan hidup masyarakat lokal," katanya.
Maka dari itu, dia mengajak seluruh elemen masyarakat Aceh untuk terus mengawal keberadaan pulau-pulau itu, agar tak sekadar diakui secara administratif, tetapi juga bisa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Mujiburrahman mendorong adanya pelibatan aktif perguruan tinggi dalam riset, pemetaan potensi wilayah, serta penguatan kapasitas masyarakat lokal di kawasan kepulauan tersebut.
Keputusan Presiden Prabowo bisa menjadi pijakan baru untuk mempercepat pembangunan kawasan pesisir dan memperkuat kembali relasi Aceh dengan Pemerintah Pusat.
“Jangan sampai pulau-pulau itu hanya tinggal di peta, tapi seluruh hasilnya dibawa ke luar Aceh. Kita harus pastikan bahwa kedaulatan atas wilayah ini bermakna bagi kesejahteraan rakyat,” harap Prof Mujiburrahman.
Polemik empat pulau ini menjadi ujian bagi semua pihak terutama di Aceh dalam menjaga dan merawat perdamaian Aceh yang telah berlangsung 20 tahun lamanya.
Keputusan akhir dari Presiden Prabowo Subianto yang mengembalikan empat pulau ke Aceh telah menghentikan narasi-narasi negatif hingga berbau provokatif akan keretakan perdamaian.
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025