Banda Aceh (ANTARA) - Ketika Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) melakukan lawatan ke Tiongkok dan Arab Saudi pada Oktober 2025, publik Aceh sontak menoleh. Dua kunjungan luar negeri itu tidak hanya menjadi berita seremonial, melainkan membuka babak baru tentang arah politik luar negeri daerah di bawah otonomi khusus Aceh.


Dalam waktu kurang dari dua minggu, Mualem mengunjungi Zhengzhou, Henan, China untuk meninjau industri peternakan unggas modern, lalu bertolak ke Mekkah, Arab Saudi, guna mempresentasikan peluang investasi kepada para investor Timur Tengah.

 
Di permukaan, agenda itu tampak sebagai upaya menarik modal asing. Namun di baliknya, terselip pertanyaan yang lebih besar: internasionalisasi Gubernur Aceh ini untuk siapa dan sejauh mana ia sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia?
Aceh dan Jejak Diplomasi Lokal.

Baca juga: PT PEMA teken MoU kerja sama peternakan dengan China


Sejarah mencatat, Aceh memiliki tradisi diplomasi yang panjang bahkan sebelum berdirinya Republik Indonesia. Kesultanan Aceh Darussalam di abad ke-16-17 dikenal memiliki hubungan diplomatik dengan Turki Utsmani, Inggris, dan Belanda. Dalam konteks modern, hubungan internasional Aceh kembali mendapatkan ruang setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang memberi otonomi khusus termasuk kewenangan menjalin kerja sama luar negeri terbatas di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Otonomi khusus ini membuka peluang bagi Gubernur Aceh untuk melakukan inisiatif diplomasi daerah (subnational diplomacy). Dalam teori hubungan internasional, model ini dikenal sebagai “paradiplomacy” yaitu praktik diplomasi oleh entitas sub-nasional seperti provinsi, negara bagian, atau kota, yang menjalankan fungsi internasional di luar jalur diplomasi formal negara.

Menurut akademisi hubungan internasional asal Universitas Padjadjaran, Dr. Fitriani, M.Sc., paradiplomasi daerah dapat “menjadi strategi alternatif bagi daerah untuk menarik investasi langsung dan memperkuat jejaring ekonomi lintas negara, selama tetap berada dalam koridor politik luar negeri nasional.”

Namun paradiplomasi juga memiliki risiko jika tidak dikelola dengan koordinasi pusat yang kuat, ia dapat menimbulkan persepsi tumpang tindih kebijakan, bahkan membuka ruang gesekan antara kepentingan daerah dan kebijakan luar negeri negara.
 


Misi ke Tiongkok Diplomasi Pangan dan Investasi

Kunjungan Mualem ke Tiongkok pada 13-19 Oktober 2025 memiliki misi yang relatif konkret mengembangkan industri peternakan unggas modern di Aceh. Dalam lawatan tersebut, Mualem dan rombongan Pemerintah Aceh meninjau fasilitas peternakan berteknologi tinggi di Provinsi Henan, serta menandatangani nota kesepahaman antara BUMD Aceh dengan perusahaan China untuk pengembangan industri unggas terpadu.

Kunjungan ini juga bertujuan mempelajari rantai pasok dan model agribisnis modern, yang diharapkan dapat diterapkan di Aceh untuk memperkuat ketahanan pangan daerah (Merdeka.com,14/10/2025)

Baca juga: Mualem lobi investasi di timur tengah, termasuk pesawat Aceh Airlines


Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk konkret dari transformasi ekonomi Aceh. Selama ini, perekonomian Aceh masih bergantung pada sektor migas dan pertanian tradisional. Modernisasi sektor pangan, apalagi melalui alih teknologi dan investasi asing, dapat membuka lapangan kerja dan meningkatkan nilai tambah produksi lokal.

Namun di sisi lain, penting untuk menegaskan bahwa setiap kerja sama internasional seperti ini harus melalui mekanisme konsultasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Dalam Negeri, sesuai amanat Permendagri Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tata Cara Kerja Sama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah.

Transparansi proses dan substansi perjanjian menjadi krusial agar kepentingan jangka panjang Aceh tidak terjebak dalam kontrak ekonomi yang timpang.

 

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem saat memberi pernyataan pada media menanggapi hasil Rekomendasi Pansus DPRA terhadap Mineral, Batu Bara, Minyak dan Gas, di Ruang Serbaguna DPR Aceh, Kamis (25/9/2025). (ANTARA/HO/Humas Pemprov Aceh)


Mekkah dan Diplomasi Spiritual-Ekonomi

Usai dari China, Mualem bertolak ke Mekkah (Arab Saudi) untuk melakukan pertemuan dengan para investor Timur Tengah dari Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Sudan. Dalam forum tersebut, Gubernur Aceh memaparkan peluang investasi di berbagai sektor, termasuk pariwisata halal, energi terbarukan, dan transportasi udara.

Salah satu ide yang menarik perhatian publik adalah rencana pendirian maskapai “Aceh Airlines” yang disebut akan didukung oleh sejumlah investor Timur Tengah dengan rencana awal pembelian delapan unit pesawat. Langkah ini dipandang sebagai strategi memperkuat konektivitas udara antara Banda Aceh dan kota-kota besar di Timur Tengah.

Bagi Aceh yang memiliki identitas kuat sebagai “Serambi Mekkah”, hubungan dengan dunia Arab bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga dimensi kultural dan spiritual. Diplomasi seperti ini bisa memperkuat posisi Aceh sebagai pusat wisata religi dan pendidikan Islam internasional.

Namun para analis menilai bahwa ide-ide besar seperti "Aceh Airlines" atau “Zona Ekonomi Halal” hanya akan bermakna bila didukung oleh kajian kelayakan ekonomi yang matang dan kebijakan fiskal yang jelas.

Baca juga: Gubernur Aceh resmi bentuk DEA untuk kuatkan ekonomi daerah
 

Diplomasi Daerah di Antara Kepentingan Pusat dan Lokal

Kunjungan luar negeri Mualem juga perlu dilihat dalam konteks politik nasional. Aceh, sebagai daerah dengan status otonomi khusus pasca-perdamaian Helsinki (2005), memiliki sensitivitas tersendiri dalam hubungan pusat-daerah. Pemerintah pusat sering kali berhati-hati menilai langkah-langkah luar negeri Aceh agar tidak menimbulkan kesan “politik luar negeri paralel.”


Meski begitu, pembukaan ruang internasional bagi daerah seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai potensi perluasan diplomasi ekonomi nasional.

Dalam laporan CSIS Indonesia (2023) tentang Paradiplomacy and Economic Diplomacy in Indonesia, disebutkan bahwa daerah seperti Jawa Barat, Bali, dan Sulawesi Utara telah lama menjalankan kerja sama internasional di bidang pariwisata dan investasi dengan hasil positif. Tantangannya bukan pada izin, melainkan pada kapasitas institusional pemerintah daerah untuk mengelola dan menegosiasikan kerja sama yang kompleks.

Aceh memiliki peluang yang sama, asalkan membangun governance architecture yang kuat meliputi Aceh Investment Board yang profesional, pengawasan publik yang transparan, dan koordinasi erat dengan Kemenlu serta BKPM. Tanpa itu, diplomasi luar negeri daerah rentan menjadi alat politik personal, bukan kebijakan pembangunan jangka panjang.
 


Citra, Cita, dan Politik Simbolik

Tidak bisa dipungkiri, langkah Mualem juga memiliki dimensi simbolik. Sebagai mantan panglima GAM yang kini menjadi gubernur, tampilnya Mualem di forum internasional membawa citra baru: dari figur militer ke pemimpin daerah yang berorientasi global.

Bagi sebagian kalangan, ini merupakan transformasi politik yang menarik sebuah narasi rekonsiliasi yang diperluas ke ranah internasional. Namun bagi kalangan yang skeptis, internasionalisasi Mualem masih terlihat lebih banyak pada aspek citra ketimbang substansi diplomasi.

Kritik ini tidak tanpa alasan. Beberapa media mencatat bahwa kunjungan-kunjungan tersebut belum menghasilkan dokumen kerja sama yang spesifik, selain nota kesepahaman awal dan rencana penjajakan investasi. Belum jelas pula bagaimana skema pembiayaan, keterlibatan BUMD, dan pembagian keuntungan dalam proyek-proyek yang ditawarkan.

Dalam politik lokal Aceh yang sarat simbol, langkah Mualem bisa dibaca sebagai upaya membangun legitimasi politik baru melalui jalur internasional memperkuat citra Aceh sebagai entitas yang terbuka terhadap dunia. Namun, dalam politik pembangunan, legitimasi simbolik tidak cukup tanpa dampak ekonomi yang nyata bagi masyarakat.
 

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf saat melakukan kunjungan lapangan untuk mengkaji secara langsung teknologi dan manajemen industri peternakan modern di Provinsi Henan, Tiongkok, Selasa (14/10/2025). (ANTARA/HO/Pemprov Aceh)


 
Dari Internasionalisasi Menuju Institusionalisasi

Yang lebih penting dari “siapa yang berangkat ke luar negeri” adalah “apa yang dibawa pulang ke daerah.”

Internasionalisasi kepala daerah seharusnya menghasilkan transfer teknologi, investasi, dan jejaring kerja sama konkret. Untuk itu, Pemerintah Aceh perlu menata ulang pendekatan diplomasi daerah menjadi lebih terinstitusionalisasi. Artinya, kunjungan luar negeri tidak boleh hanya bersifat event-based, tetapi bagian dari strategi besar pengembangan ekonomi Aceh 2025-2030.

Tiga hal mendesak untuk diperkuat:

1. Blueprint Diplomasi Ekonomi Aceh.
Pemerintah Aceh perlu menyusun peta jalan diplomasi ekonomi daerah yang memuat sektor prioritas (pangan, energi, pariwisata halal, pendidikan Islam), mitra strategis, dan target investasi. Tanpa arah kebijakan ini, setiap kunjungan luar negeri akan tampak acak dan tak berkelanjutan.


2. Koordinasi Formal dengan Pemerintah Pusat. Aceh harus memastikan setiap perjanjian atau MoU luar negeri dikonsultasikan ke Kemenlu, agar tidak melanggar prinsip one voice foreign policy. Langkah ini bukan pembatasan, melainkan perlindungan hukum bagi keberlanjutan proyek investasi.


3. Evaluasi Dampak Ekonomi Nyata. Transparansi hasil kunjungan luar negeri harus dibuka kepada publik: berapa potensi investasi yang masuk, berapa lapangan kerja yang diciptakan, dan bagaimana keterlibatan UMKM lokal. Masyarakat Aceh berhak tahu bahwa diplomasi gubernur bukan sekadar pencitraan, tetapi membawa manfaat konkret.

Baca juga: Temui Wamen Perkim, Mualem usulkan Inpres rumah untuk eks kombatan GAM
 

Diplomasi Aceh, Indonesia, dan Dunia

Kunjungan Mualem ke China dan Arab Saudi bisa menjadi titik awal penting bagi reposisi Aceh di panggung global. Di tengah kompetisi geopolitik Asia-Pasifik dan pertumbuhan ekonomi Timur Tengah, Aceh memiliki posisi geografis strategis di Selat Malaka  jalur perdagangan paling sibuk di dunia.

Jika dikelola dengan cerdas, diplomasi ekonomi Aceh dapat menjadi bagian dari strategi nasional Indonesia dalam memperkuat blue economy dan halal value chain.

Namun, jalan menuju sana memerlukan lebih dari sekadar kunjungan seremonial. Ia memerlukan strategi, transparansi, dan keberlanjutan kebijakan. Internasionalisasi Mualem hanya akan bermakna bila ia membawa pulang perubahan struktural bagi Aceh bukan hanya foto bersama di forum luar negeri, tetapi juga lapangan kerja, investasi produktif, dan keterhubungan ekonomi yang nyata.

Dengan demikian, pertanyaan “internasionalisasi Gubernur Aceh untuk siapa?” menemukan jawabannya: seharusnya untuk rakyat Aceh dan Indonesia, bukan untuk citra pribadi. Karena diplomasi sejati bukan tentang siapa yang dikenal di luar negeri, melainkan seberapa besar manfaat yang kembali ke tanah sendiri.

 

*Penulis adalah pemerhati isu strategis, akademisi, praktisi media, instruktur pelatihan, dan Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjajaran.


Baca juga: Mualem minta Menaker bangun BLK spesifikasi khusus di Aceh



Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025