Blangpidie (ANTARA) - Di bawah matahari yang belum terlalu terik di pertengahan Juni 2025, hamparan sawah di Desa Tangan-Tangan Cut, Kecamatan Setia, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), tampak berbeda dari biasanya.
Alih-alih nuansa hijau segar yang menjadi pertanda musim panen menjanjikan, yang terlihat hanyalah deretan tanaman padi menguning, kering, dan rebah tak berdaya. Aroma harapan yang biasanya memenuhi udara musim tanam perlahan berganti menjadi bau kegelisahan.
Keujruen Blang setempat, Darwis MS, menatap lahan sawahnya yang kini tak lagi menjanjikan panen.
“Tanaman yang baru mulai mengeluarkan malai tiba-tiba menguning, daunnya kering, lalu mati bertumpuk-tumpuk,” ujarnya lirih, menyuarakan keresahan banyak petani di kawasan itu.
Baca juga: 15 hektar sawah petani Abdya terancam gagal panen akibat padi mendadak mati
Fenomena ini bermula seminggu sebelumnya, ketika tanaman padi berusia dua bulan menunjukkan gejala tak biasa. Daunnya mulai mengering dari ujung, dan dalam hitungan hari, satu petak demi petak lahan tampak seolah dilanda kemarau panjang.
Serangan menyebar cepat ke seluruh kawasan pertanian Keujruen Cut Meutuah, dengan luas lahan terdampak mencapai 15 hektar.
“Awalnya kami kira ini penyakit lokal yang dikenal warga sebagai ‘Bana’. Tapi sebarannya luar biasa cepat. Kami benar-benar kewalahan,” tambah Darwis, petani senior yang telah puluhan tahun bergelut dengan tanah dan musim.
Kerugian menghantui. Modal tanam telah dikeluarkan. pupuk, benih, ongkos garap dengan harapan sederhana. Dengan harapan panen cukup untuk menyambung hidup dan menyekolahkan anak. Namun semua itu kini berada di ujung tanduk.
Respon Pemerintah
Menanggapi situasi darurat ini, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Abdya, Hendri Yadi bergerak cepat dan memerintahkan Kepala Bidang Ketahanan Pangan dan Hortikultura, Safri Maswandi, bersama tim pengamat hama dan penyuluh pertanian, turun langsung ke lokasi sawah terdampak.
Hasil observasi mereka menetapkan bahwa penyebab kerusakan adalah wereng batang coklat, hama klasik yang kembali menyerang dengan daya rusak tinggi.
Menurut Koordinator Pengamat Hama, Khairul Kamal, penyebab utama daya rusaknya adalah penggunaan benih padi Galur Cibatu 06, jenis yang belum dilepas resmi oleh pemerintah.
“Benih ini masih dalam tahap uji. Ketahanannya terhadap hama belum teruji di lapangan secara menyeluruh,” jelasnya.
Baca juga: Pemkab Abdya ajak Bulog optimalisasi kilang padi modern milik pemerintah
Sebagai langkah tanggap darurat, Dinas Pertanian mendistribusikan lebih dari 100 tangki pestisida untuk penyemprotan massal bersama para petani. Aksi ini diharapkan dapat menekan populasi wereng dan menyelamatkan padi yang masih bertahan.
Di sisi lain, para petani dihimbau kedepan harus menggunakan benih unggul bersertifikat yang telah direkomendasikan pemerintah.
Namun tragedi padi di Tangan-Tangan Cut ini bukanlah kasus tunggal. Saat ini, seluruh lahan sawah di sembilan kecamatan di Kabupaten Abdya yang luasnya lebih dari 8.000 hektar telah memasuki masa pemeliharaan penting.
Petani daerah itu berharap panen tahun ini tetap berhasil agar pasokan beras untuk masyarakat kabupaten tetangga seperti Subulussalam, Aceh Singkil, dan sekitarnya tetap terjaga sebagaimana biasanya.
Di balik kerja sunyi mereka, para petani Abdya sejatinya adalah "pahlawan ketahanan pangan nasional". Mereka menanam bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dapur sendiri, tapi juga untuk memberi makan ribuan keluarga lain di kawasan barat selatan Aceh.
Mereka menanam dengan harapan, merawat dengan kesabaran, dan menuai dengan semangat gotong royong yang tak tergantikan oleh mesin manapun.
Jika ketahanan pangan adalah pondasi negeri, maka petani adalah tiang-tiangnya dan di Kabupaten yang berjulukan "Negeri Breuh Sigupai, tiang itu berdiri kukuh, meski diguncang angin dan ancaman hama.
Baca juga: Jejak Petani yang Hilang di Balik Deru Alsintan
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025