Blangpidie (ANTARA) - Yayasan Supremasi Keadilan Aceh (SaKA) menduga adanya dugaan konflik kepentingan dan nepotisme terkait rekomendasi izin tambang bijih besi di kawasan Manggeng Raya, Abdya, oleh pemerintah kabupaten setempat.

Sekretaris Yayasan Supremasi Keadilan Aceh (SaKA) Erisman di Blangpidie, Senin, mengungkapkan bahwa rekomendasi tersebut dikeluarkan oleh Bupati Abdya kepada PT Laguna Tambang Jaya.

"Perusahaan penerima izin tersebut, diduga melibatkan orang-orang dekat bupati serta sejumlah anggota tim suksesnya," kata Erisman.


Baca juga: Pemkab Pidie usulkan wilayah pertambangan rakyat seluas 2.166 hektare
 

Perusahaan yang akan mendapatkan izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Lembah Sabil, Manggeng, dan Tangan-Tangan itu diduga memiliki keterkaitan erat dengan lingkaran kekuasaan.

Nama-nama seperti Sahlan Sabri, Anton Sumarno (mantan anggota DPRK), serta dua tenaga ahli bupati, Hamdani JB dan Zulfan, tercatat sebagai pengurus inti perusahaan.

"Kita sedang berjuang menolak tambang demi keselamatan lingkungan dan masa depan rakyat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, orang dekat bupati malah jadi pemain utama. Ini sangat tidak fair,” ujarnya

Erisman mengatakan, berdasarkan data dan peta yang diterima SaKA, luas area tambang bijih besi yang direkomendasikan Bupati Abdya itu mencapai 1.090 hektare, meliputi Kecamatan Lembah Sabil, Manggeng, dan Tangan-Tangan.

Penolakan terhadap rencana pertambangan biji besi itu juga disuarakan oleh Ahmad Sabri, mantan Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Manggeng (IPMM) itu menilai bahwa aktivitas tambang berpotensi merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat adat serta petani lokal.

“Tambang bukan solusi untuk kesejahteraan jangka panjang masyarakat Manggeng. Justru sebaliknya, ia membawa kerusakan yang tak bisa diperbaiki dalam waktu singkat,” tegas Sabri.

Sabri juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap DPRK Abdya yang belum memberikan tanggapan atas surat permohonan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang telah dikirimkan oleh elemen masyarakat sejak Selasa (30/9).

 “Surat permohonan RDPU sudah kami layangkan secara resmi, namun hingga kini tidak ada satupun anggota DPRK yang merespons atau memberikan kejelasan. Ini bentuk pengabaian terhadap aspirasi rakyat,” tambahnya.

Menurut Sabri, RDPU sangat penting untuk membuka ruang diskusi terbuka antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pihak perusahaan, agar seluruh dampak dan risiko dari proyek tambang dapat dikaji secara menyeluruh dan transparan.

Rencana pertambangan di kawasan Manggeng Raya telah menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan masyarakat sipil, aktivis lingkungan, serta tokoh adat. 

Penolakan ini muncul tidak hanya karena potensi kerusakan lingkungan, tetapi juga karena minimnya transparansi dalam proses perizinan dan rendahnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan.

Ahmad Sabri dan elemen masyarakat sipil lainnya mendesak DPRK Abdya segera merespons surat permohonan RDPU serta menghentikan segala proses yang mengarah pada eksploitasi tambang sebelum ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan persetujuan masyarakat secara menyeluruh.

Disisi lain, Kepala Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Abdya, Amiruddin membenarkan rekomendasi, namun, izinnya di provinsi.

"Sepengetahuan saya satu izin tambang dikeluarkan masa PJ Bupati Darmansyah. Satu lagi cuma rekomendasi yang dikeluarkan oleh bupati sekarang. Tapi izinnya di Provinsi bukan di Abdya," katanya.

Baca juga: Final, Aceh usulkan legalisasi 2.101 sumur minyak rakyat ke ESDM



Pewarta: Suprian
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025