Banda Aceh (ANTARA) - Balai Bahasa Provinsi Aceh (BBPA) memperluas revitalisasi bahasa Aceh ke wilayah Bireuen dan Aceh Barat pada tahun 2025. 

“Tahun ini, kami berencana memperluas wilayah sasaran ke Aceh Barat dan Bireuen. Saat ini kami baru tahap mulai merancang untuk kegiatan awal,” kata Kepala Balai Bahasa Aceh Umar Solikhan di Banda Aceh, Senin.

Umar menjelaskan, bahwa BBPA telah menjalankan program revitalisasi bahasa pada 2023 untuk bahasa Gayo di wilayah Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues.

“Program revitalisasi ini dilanjutkan pada 2024 dengan menambahkan bahasa Aceh, yang menyasar penutur di Kota Banda Aceh, Aceh Besar, dan Kabupaten Pidie,” katanya.

Baca juga: BBPA luncurkan kamus bahasa Gayo dan 60 buku antologi cerita anak berbahasa daerah

Pada tahun ini, Umar menyebutkan bahwa program revitalisasi untuk bahasa Gayo dan Aceh akan terus dilanjutkan, dengan memperluas cakupan ke wilayah Bireuen dan Pidie Jaya

“Dengan menambahkan Aceh Barat dan Pidie Jaya, kami ingin distribusi program ini lebih proporsional, agar tidak terpusat hanya di wilayah kota,” katanya.

Ia menambahkan bahwa program ini penting dilakukan karena jumlah penutur bahasa daerah di kalangan generasi muda terus menurun, membuat kedua bahasa tersebut semakin rentan punah.

Menurut dia, generasi muda saat ini lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-sehari

“Banyak pasangan muda yang tidak mengajarkan bahasa Aceh kepada anak-anak mereka sejak balita. Mereka menganggap bahasa Indonesia lebih modern,” katanya.

Kondisi tersebut, kata dia, terlihat dalam program-program yang telah dilakukan BBPA. Kebanyakan generasi muda merasa kesulitan saat mengikuti penulisan cerita rakyat dalam bahasa daerah.

“Anak-anak yang ikut Festival Tunas Bahasa Ibu tingkat SD dan SMP mengalami kesulitan saat diminta menulis dalam bahasa daerah. Alih-alih menulis langsung dalam bahasa daerah, mereka justru menulis dalam bahasa Indonesia dulu, baru menerjemahkannya ke bahasa daerah,” katanya. 

Menurut Umar, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan spontanitas anak-anak dalam menggunakan bahasa daerah sudah mulai melemah. Di sisi lain, Umar juga menyoroti pelibatan pemerintah daerah Aceh dalam upaya revitalisasi ini masih belum optimal. 

“Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 41, pembinaan, pengembangan, dan perlindungan bahasa daerah adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Sayangnya, hingga saat ini, aktivitas tersebut belum berjalan maksimal,” katanya.

Baca juga: Festival teater perlu dukungan Pemda demi keberlanjutan bahasa daerah

Salah satu hambatan utamanya adalah belum adanya regulasi kurikulum muatan lokal yang mewajibkan pengajaran bahasa daerah di sekolah. 

“Pemerintah Aceh belum mengeluarkan peraturan daerah atau qanun yang mengatur kewajiban sekolah untuk menerapkan muatan lokal bahasa daerah,” katanya.

Selain itu, keberadaan guru bahasa daerah juga menjadi tantangan tersendiri. Belum ada guru khusus yang disiapkan untuk mengajar bahasa daerah. Bahkan, status guru bahasa daerah belum diakui secara resmi statusnya.

Ia berharap Pemerintah Aceh bisa bersinergi dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk mengatasi permasalahan tersebut.

“Guru-guru bahasa daerah ini perlu diakui profesionalismenya sehingga mereka bisa mendapatkan tunjangan dan pengakuan yang sama seperti guru-guru lainnya,” katanya.

Baca juga: Balai Bahasa: Festival teater jadi ajang bangkitkan penutur muda bahasa Aceh



Pewarta: Nurul Hasanah
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025