Singkil (ANTARA Aceh) - Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, dan Tapanuli Tengah, Sumut, menggelar pertemuan dan memediasi dua kelompok yang bertikai agar bentrokan antar petani di dua daerah itu tidak berlanjut dan meluas.
     
Sekretaris Daerah Aceh Singkil Drs Azmi kepada wartawan di Singkil, Kamis menyatakan, pemerintah perlu mendamaikan dua kelompok yang bertikai terkait masalah lahan, agar tidak terjadi bentrok susulan atau meluas ke daerah lain.
     
Mediasi kedua pihak bertikai berlangsung di Mess PT Nauli Sawit Pagaran Baru, Kecamatan Manduamas, Tapanuli Tengah.
     
Sebelumnya kedua belah pihak, Pemkab memantau lahan yang bersengketa di Laebalno, Kecamatan Danau paris Kabupaten Aceh Singkil. Dan kemudian melakukan musyawarah di mess PT Nauli Sawit di Pagaran baru ,manduamas Tapteng.
     
Sekda yang memimpin rombongan dalam pertemuan dengan perwakilan pemerintah Tapanuli Tengah, petani dan tokoh masyarakat menegaskan bahwa pemicu bentrokan antar petani tersebut murni disebabkan persoalan atas hak lahan garapan persawahan dan sebab tapal batas yang tidak menentu.

Sedangkan menyangkut adanya klaim dari kedua belah pihak atas kepemilikan sekitar 50 hektare lahan yang menjadi pemicu bentrok berdarah itu, pemerintah kedua kabupaten sepakat mengembalikanya kepada aturan yang ada sebagai pedoman penyelesaian sengketa.

"Mengenai tapal batas itu wewenang pusat, saya berharap kedua belah pihak bisa menahan diri, karena proses penentuan tapal batas membutuhkan waktu," ujar Azmi.

Bentrokan berdarah yang melibatkan dua kelompok masyarakat di dua kabupaten yakni Tapanuli Tengah dan Aceh Singkil yang terjadi di Dusun Perti, Kampong Lae Balno Kecamatan Danau Paris, Aceh Singkil murni dilatarbelakangi perebutan lahan persawahan yang alas haknya belum jelas.

Hal itu sebagaimana informasi yang berhasil dihimpun disela-sela pertemuan antara warga dangan pemerintah kedua kabupaten, Rabu (31/8) di Aula PT. Nauli Sawit, Desa Pagaran Baru, Kecamatan Manduamas, Tapanuli tengah.

Salah seorang warga Sinaga , mengatakan persoalan saling klaim lahan itu sudah terjadi sejak setahun belakangan ini, dan hal tersebut telah disampaikan kepada pemerintah. Namun belum mendapat tanggapan. Sinaga mengaku para petani telah menggarap lahan persawahan itu sejak tahun 1976 , hanya saja mereka memang tidak memiliki alas hak.

"Kami sudah menanami lahan itu sejak tahun 1976, tapi mereka yang dari Aceh itu mengaku sudah memiliki lahan itu sejak tahun 1940 kami memang tidak punya surat, kami ini hanya menggarap sawah itu. Mereka terus melakukan perluasan sehingga kami tidak lagi bisa menanam padi," kata Sinaga.

Hal senada juga disampaikan oleh Nurima br Manik petani lainya.

Dirinya bahkan mengaku sering mendapat intimidasi dari pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan, Nurima mengaku tak mempersoalkan kepemilikan lahan sebab ia hanya menanam padi di areal itu

Masyarakat nerasa sering diganggu saat menanam padi, tapi kami sudah lama menggarap lahan sawah ini. "Saya tidak tahu apakah sawah ini milik orang dari Aceh itu atau ada orang lain, saya hanya menanam padi," kata Nurima.

Sebelumnya, bentrokan antar dua kelompok warga desa Lae Balno Kecamatan Danau Paris, Aceh Singkil dengan empat warga Desa Saragih Timur dan Barat, Desa Tambahan Nanjur dan Sarma Nauli Kecamatan Manduamas ,Tapanuli Tengah yang di Dusun Perti itu mengakibatkan tiga sepeda motor dan dua gubuk dibakar serta tiga orang mengalami luka bacok
Masing-masing dua orang warga Lae Balno (Toko Berutu dan Lasniroha Meha).

Keduanya mengalami luka bacokan serius sehingga harus dirujuk ke Rumah sakit di Medan Sumatra Utara, sedangkan warga Saragih yang mengalami luka atas nama Belprima, satu nama lain yang dikabarkan mengalami luka adalah Muler Berutu keduanya warga Saragih, Kecamatan Manduamas.

Sementara itu Kapolsek Manduamas AKP Enda Iwan, mengatakan persolan penegakan hukum terhadap pelaku kerusuhan telah diserahkan kepada Polres Aceh Singkil, hal itu dikarenakan lokasi kejadianya berada di wilayah hukum Aceh Singkil.



Pewarta: Khairuman
Uploader : Salahuddin Wahid
COPYRIGHT © ANTARA 2025