Banda Aceh (ANTARA) - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) menyoroti pabrik kelapa sawit atau PKS tanpa kebun maupun Hak Guna Usaha (HGU), yang menggunakan skema kemitraan plasma dalam penetapan harga tandan buah segar sawit, sehingga merugikan petani setempat.
Ketua Apkasindo Abdya, Muazam, di Abdya, Selasa, mengatakan ada dua PKS tersebut yakni PT Samira Makmur Sejahtera (SMS) dan PT Mon Jambe yang tidak memiliki HGU dan kebun, namun tetap menggunakan skema kemitraan plasma dalam penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) milik petani mandiri setempat.
“Mereka tidak punya HGU, tidak ada kebun inti, tapi tetap menggunakan istilah plasma untuk menentukan harga. Ini tidak adil bagi petani mandiri,” kata Muazam.
Ia menyampaikan, kedua pabrik tersebut selama ini beroperasi dengan mengandalkan pasokan dari kebun rakyat, bukan kebun inti sebagaimana mestinya sesuai pola kemitraan plasma. Sebagai informasi, kebun plasma itu merujuk pada pola kemitraan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit (sebagai inti) dan petani kecil (sebagai plasma) yang diatur pemerintah. Dalam skema ini, perusahaan inti berkewajiban menyediakan lahan, bibit, pendampingan teknis, dan akses pasar bagi petani plasma. Sebagai imbalannya, petani plasma menyerahkan hasil panen TBS ke perusahaan sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Tetapi di Abdya saat ini, pabrik tidak memberikan apapun kepada petani. Petani menanam di lahan sendiri, beli bibit, pupuk, dan menjual sendiri. Maka seharusnya, pabrik membeli dengan harga sesuai ketetapan pemerintah Aceh.
Namun, ia mengatakan PT SMS membeli TBS petani mandiri seharga Rp2.950 per kilogram, sedangkan PT Mon Jambe membeli seharga Rp2.970 per kilogram. Padahal, harga resmi untuk sawit usia 10–20 tahun yang ditetapkan Pemerintah Aceh saat ini mencapai Rp3.400 per kilogram.
“Selisihnya mencapai Rp450 per kilogram. Ini sangat merugikan petani, apalagi mereka tidak terikat dalam kemitraan resmi,” ujarnya.
Karena itu, Apkasindo Abdya mendesak pemerintah daerah dan instansi terkait untuk segera melakukan evaluasi terhadap legalitas operasional kedua pabrik tersebut. Sehingga istilah “plasma” tidak disalahgunakan untuk menekan harga TBS petani mandiri.
“Kami berharap ada audit menyeluruh. Jangan sampai istilah plasma dijadikan tameng untuk praktik yang tidak sesuai regulasi,” tegasnya.
Selain itu, Muazam juga menyoroti dua perusahaan perkebunan sawit yang memiliki lahan HGU ribuan hektare di Kecamatan Babahrot, yakni PT Dua Perkasa Lestari dan PT Cemerlang Abadi, yang dinilai belum merealisasikan kewajiban penyediaan lahan plasma bagi masyarakat sekitar.
“Di bawah kepemimpinan Bupati Safaruddin (Bupati Abdya), kami berharap desas-desus tentang kebun plasma untuk masyarakat miskin dan kurang mampu segera direalisasikan. Jangan sampai masyarakat yang punya tanah, tapi hasilnya dinikmati pengusaha," ujarnya.
Disisi lain Muazam menambahkan, kedua perusahaan perkebunan HGU tersebut sebenarnya sudah lama mengantongi nama-nama penerima lahan plasma. Tetapi, hingga kini tak kunjung direalisasikan, dan membuat masyarakat kecewa.
"Jangan sampai masyarakat dijadikan kambing hitam seolah-olah plasma telah direalisasikan,” katanya.
Baca juga: Pengusaha Sawit dan Tambang di Abdya Perkuat Sinergi dengan Pemerintah Daerah
Pewarta: Rahmat FajriEditor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025