Banda Aceh (ANTARA) - Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Aceh mencatat kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan warga Aceh di luar negeri mencapai 68 orang dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
"Dalam dua tahun terakhir, ada 68 pengaduan yang masuk ke BP3MI Aceh," kata Kepala BP3MI Aceh, Siti Rolijah, di Banda Aceh, Jumat.
Dirinya menyebutkan, berdasarkan pengaduan yang diterima, 68 orang tersebut terbagi dari 29 orang pada 2024, kemudian terjadi peningkatan tahun ini, hingga September 2025 sudah mencapai 39 kasus.
Bahkan, ada kasus menonjol yang ikut ditangani BP3MI Aceh, di mana terdapat kasus yang melibatkan anak di bawah umur, korban sempat dipekerjakan untuk kegiatan prostitusi di Malaysia (satu tersangka sudah ditangkap Polresta Banda Aceh).
Baca juga: Imigrasi Sabang edukasi siswa dan guru MAN Sabang tentang TPPO dan tugas keimigrasian
Namun, lanjut, terhadap pekerja Aceh di luar negeri yang ditangani tersebut, hampir 100 persen adalah pekerja yang berangkat secara ilegal. Hal itu berdasarkan hasil pengecekan pada sistem perlindungan pekerja migran Indonesia.
"68 orang ini tidak tercatat di sistem pemerintah. Artinya, bisa dipastikan awal keberangkatan mereka secara ilegal. Dan, rata-rata tersebar di negara Malaysia, Kamboja, Laos, Thailand dan Myanmar," ujarnya.
Dalam upaya penanganannya, BP3MI Aceh melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, seperti Disnaker Aceh, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Polda Aceh, Imigrasi, KBRI serta stakeholder lainnya.
Selain itu, Siti juga menyampaikan bahwa dalam dua tahun terakhir BP3MI Aceh juga ikut memfasilitasi pemulangan sebanyak 739 pekerja Aceh yang bermasalah di luar negeri (baik yang dideportasi maupun pemulangan jenazah) yaitu pada 2024 sebanyak 310 orang dan 429 orang hingga September 2025.
Ia menjelaskan, banyak warga Aceh yang bekerja di luar negeri mendapatkan masalah seperti saat terkena razia, terutama di Malaysia. Pada umumnya, mereka tidak memiliki dokumen resmi sebagai pekerja, melainkan hanya paspor, tanpa visa kerja atau permit.
Lalu, juga terdapat pekerja yang awalnya memiliki visa kerja, tetapi masa izinnya berakhir (overstay) dan tidak memperpanjang. Bahkan, ada yang kabur dari perusahaan tempat kontrak awal, atau berpindah perusahaan tanpa mengurus izin baru.
"739 orang ini, sebagian besar adalah dideportasi dari Malaysia sekitar 99 persen. Sisanya, sekitar satu persen dari Kamboja dan Myanmar. Dan, 100 persennya itu juga berangkat awal secara ilegal," ujarnya.
Terkait tingginya perkara TPPO ini, Siti menegaskan bahwa BP3MI Aceh terus melakukan berbagai upaya pencegahan seperti melakukan sosialisasi ke sekolah, perguruan tinggi.
Serta, juga melakukan kerjasama dengan para kepala desa untuk berperan mengingatkan warganya agar menempuh jalur resmi jika bekerja ke luar negeri.
"Kami menitipkan pesan kepada para keuchik (kepala desa) agar mengingatkan dan menyampaikan informasi kepada warganya tentang pentingnya bekerja secara legal sesuai prosedur. Sehingga dapat kasus-kasus serupa (TPPO) bisa diantisipasi," katanya.
Dalam kesempatan ini, Siti juga mengimbau kepada masyarakat Aceh terutama para generasi muda agar dapat berhati-hati terhadap tawaran bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji besar serta persyaratan mudah, apalagi tidak mensyaratkan kompetensinya.
"Harapan kami kepada generasi muda Aceh agar berhati-hati terhadap tawaran kerja ke luar negeri yang syaratnya tidak ribet. Dan, harus pastikan dulu kebenarannya melalui instansi ketenagakerjaan daerah asal, atau juga bisa mengecek langsung ke kantor BP3MI Aceh," demikian Siti Rolijah.
Baca juga: Jaksa dakwa wanita paruh baya terlibat TPPO anak ke Malaysia
Pewarta: Rahmat FajriEditor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025