Banda Aceh (ANTARA) - Tim Pusat Riset Komunikasi Pemasaran, Pariwisata & Ekonomi Kreatif (Kita Kreatif) Universitas Syiah Kuala ikut mendampingi pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Wisata Aneuk Laot dan Jaboi, Kota Sabang. 

Wakil Ketua Pusat Riset Kita Kreatif USK, M. Ridha Siregar, dalam keterangan yang diterima di Banda Aceh, Selasa, menjelaskan bahwa Desa Aneuk Laot, Kota Sabang, memiliki modal yang kuat untuk berkembang sebagai desa wisata. Desa ini memiliki danau air tawar seluas sekitar 30 hektar di tengah pemukiman, produk anyaman bleut dan reungkan dari daun kelapa, kerajinan ecoprint berbahan alam, serta kuliner khas Aceh. Namun, dia menyayangkan jumlah wisatawan yang berkunjung justru menurun.

“Prestasinya pun tidak main-main, antara lain masuk lima besar BCA Desa Wisata Award 2021 kategori budaya, serta 75 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun 2023. Tapi, sangat disayangkan saat ini jumlah pengunjungnya justru menurun,” katanya. 

Baca juga: Kita Kreatif USK dan BNN Sabang kolaborasi ciptakan kawasan wisata bebas narkoba

Ridha menyampaikan bahwa tim peneliti yang diketuai dirinya dan beranggotakan Muhammad Rizqi Siregar, Radhia Humaira, Miftahul Faza, dan Landasan Waris telah melakukan survei lapangan kepada para wisatawan terkait kepuasan dan ekspektasi mereka berkunjung ke Aneuk Laot, Sabang. Hasil survei ini nantinya akan digunakan sebagai strategi dalam mengembangkan  Desa Aneuk Laot lebih baik lagi.

“Hasil survei diharapkan akan mendukung pengembangan desa wisata ini agar dapat terus berkelanjutan,” katanya.

Penelitian mereka, kata Ridha, berfokus pada tiga aspek utama, digitalisasi pemasaran, pelestarian budaya, dan pemberdayaan ekonomi kreatif masyarakat.

Ridha juga menyampaikan bahwa selain melakukan survei, tim peneliti juga telah mengidentifikasi strategi digital yang diterapkan oleh pelaku wisata di Desa Aneuk Laot. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa strategi tersebut masih perlu ditingkatkan.

“Produk ada, tapi visibilitas online minim. Ecoprint masih diproduksi dalam bentuk mukena, jilbab, dan kain. Anyaman tikar pandan dan kuliner khas Aceh-Sabang tetap jalan. Yang kurang adalah strategi digital yang konsisten,” katanya.

Selain itu, mereka menemukan bahwa potensi pariwisata budaya yang seharusnya menjadi daya tarik utama juga belum berjalan optimal. Festival tradisi yang biasanya digelar setiap bulan Rajab, misalnya, telah vakum selama dua tahun terakhir.

Demikian pula, paket wisata yang ditawarkan Pokdarwis Aneuk Laot Sabang seperti menginap di rumah warga, belajar membuat bleut, dan makan bersama masih berjalan lambat. Saat ini, sebagian besar kunjungan bulanan ke desa wisata tersebut justru berasal dari pelanggan tetap Putro Ijoé yang datang untuk membeli produk ecoprint.

“Aneuk Laot sempat booming ketika mendapat dana bantuan, lalu stagnan setelah wisatawan pergi. Desa ini mulai bergerak sejak 2010, sempat jadi penyumbang dana penting untuk Sabang. Sempat khawatir karena wisata danau tidak bisa dimanfaatkan dengan optimal, kecuali hanya pemandangan danaunya saja. Masyarakat menilai jika menggunakan mesin untuk men-support wisata di danau akan berdampak merusak danau karena danau tersebut merupakan sumber air bersih di kota Sabang. Pada akhirnya, mereka fokus ke pariwisata budaya,” katanya.

Ridha melanjutkan bahwa Desa Wisata Jaboi Sabang yang berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota juga memiliki banyak potensi untuk dikembangkan. Desa ini memiliki kawasan gunung api aktif dengan empat kawah, aliran sungai air panas, serta laut yang menyuguhkan terumbu karang berwarna-warni. Potensi pengembangan volcano tourism dan adventure sport pun terbuka lebar.

“Jaboi masih dalam pengembangan intensif. UMKM bermunculan, seperti sabun belerang memanfaatkan kekayaan vulkanik, selai jamblang, bakpia Sabang, dan produk kreatif lainnya,” katanya.

Tidak hanya itu, Jaboi juga memiliki program adopsi pohon. Wisatawan dapat mengadopsi pohon yang ditanam di area seluas 88 hektar Hutan Kemasyarakatan (HKm) Lindung. Mekanismenya, wisatawan membayar biaya perawatan untuk satu atau dua pohon. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang merawat akan mengirimkan laporan perkembangan setiap bulan kepada pengadopsi.

“Program ini merupakan komitmen serius terhadap konservasi lingkungan. Berkat program ini, Desa Wisata Jaboi berhasil menjadi nominator Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) kategori desa wisata perintis dan masuk dalam 50 besar tingkat nasional,” katanya.

Ia menambahkan, berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan tim peneliti, Pokdarwis Wisata Aneuk Laot direkomendasikan untuk merevitalisasi festival tradisi, menyelenggarakan pelatihan pemasaran digital bagi pelaku UMKM, serta mengembangkan paket wisata edukasi budaya yang terstruktur dengan menawarkan pengalaman berwisata bertingkat bagi wisatawan.

Sedangkan Desa Jaboi diarahkan untuk mengoptimalkan potensi wisata vulkanologi dan olahraga petualangan melalui digitalisasi, serta memperluas penerapan program adopsi pohon sebagai bagian dari upaya pelestarian lingkungan.

“Program adopsi pohon akan diperluas dengan sistem pelaporan berbasis aplikasi guna meningkatkan transparansi dan daya tarik bagi generasi muda,” katanya.

Sementara itu, Ketua Pusat Riset Kita Kreatif USK, T. Meldi Kesuma, yang menugaskan tim ini, memandang kunjungan lapangan sebagai langkah krusial dalam riset pariwisata.

"Kami tidak dapat merumuskan strategi hanya dari balik meja. Kami harus turun langsung, berdialog dengan pelaku wisata, mendengarkan kendala mereka, dan memahami konteks lokal," katanya.

Meldi menegaskan bahwa peran akademisi  dalam pendampingan pengemabangan strategi berkelanjutan di Desa Aneuk Laot dan Jaboi bukan untuk menggurui, melainkan bertujuan untuk memfasilitasi. 

“Kami hadir bukan dengan solusi instan. Kami datang untuk memahami terlebih dahulu, kemudian merancang strategi bersama komunitas. Inilah yang kami sebut riset berbasis kebutuhan lapangan,” katanya.

Dia pun menyampaikan Kita Kreatif USK menargetkan tiga bulan untuk menyusun rekomendasi strategis yang komprehensif serta melibatkan mahasiswa dalam proses pendampingan.

"Fokusnya pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia lokal dan integrasi teknologi dalam manajemen destinasi. Namun, ini harus berbasis pada kebutuhan riil mereka, bukan pada asumsi kami."

Tidak hanya itu, Meldi menambahkan bahwa kolaborasi Kita Kreatif USK dengan Dinas Pariwisata Kota Sabang dan Pemerintah Kota Sabang akan terus diperkuat. 

“Kami berharap Aneuk Laot dan Jaboi dapat menjadi proyek percontohan bagi desa wisata lain di Aceh. Apabila model ini berhasil, dapat direplikasi di tempat lain," katanya.


Baca juga: USK-BMA latih pemuda Aceh magang ke Jepang



Pewarta: Nurul Hasanah
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025