Banda Aceh (ANTARA) - Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Pedoman Pelaksanaan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 telah genap berusia satu tahun. Regulasi ini lahir melalui berbagai dinamika dengan tujuan mereformasi sejumlah aspek kebijakan kesehatan dari sisi legitimasi hukum.
Salah satu poin pentingnya adalah pengaturan yang cukup komprehensif mengenai adiksi rokok. Di dalamnya tercakup ketentuan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pembatasan iklan rokok luar ruang, hingga penetapan rokok elektronik sebagai salah satu bentuk adiksi yang juga harus diatur dan dibatasi.
Namun, kehadiran PP ini justru menimbulkan sejumlah distraksi dan paradoks dalam pengendalian tembakau. Beberapa aturan bahkan terkesan kontradiktif yang pada akhirnya mencerminkan arah dan tingkat komitmen pemerintah dalam isu kesehatan publik. Karena itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi atas PP ini mengingat adiksi yang rokok dan turunannya masih marak di masyarakat. Terlebih di tengah semangat bulan kemerdekaan, meninjau ketimpangan implementasi kebijakan kesehatan menjadi semakin urgen.
Baca juga: Wali Kota Banda Aceh ingatkan ASN tidak merokok di lokasi KTR
Sayangnya, di saat pemerintah pusat tampak progresif, Pemerintah Aceh seperti jalan di tempat menyandang naskah yang sudah usang yang harusnya diganti. Baik Pemerintah Provinsi Aceh maupun Kota Banda Aceh masih menggunakan produk hukum lama, yang harusnya diperbaharui mengikuti situasi nasional dan global. Jika ditelisik, ada banyak ketertinggalan dari Qanun Aceh No. 4 Tahun 2020 dengan PP No. 28 tahun 2024 dari segi pembaharuan aturan hingga regulasi mengenai rokok eceran.
Ketertinggalan inilah yang diharapkan dapat menjadi unsur pembenahan agar menunjukkan keseriusan pemerintah Aceh dalam mengawal kesehatan masyarakatnya. Komitmen pemerintah Aceh yang acuh tak acuh menimbulkan persepsi bahwa kesehatan rakyat Aceh dan hak menghirup udara yang bebas bukan lagi jadi prioritas.
Satu tahun diberlakukannya PP No. 28 tahun 2024 seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk lebih ketat dalam mengawal pengendalian tembakau di Indonesia. Meskipun belum seketat dan sepatuh negara lain, Indonesia sudah mulai mengusahakan untuk menguatkan regulasi mengenai tembakau dan Kawasan Tanpa Rokok agar tidak mudah menjangkau anak di bawah umur. Langkah serius yang belum dilakukan Indonesia adalah berkomitmen dengan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), sebuah organisasi di bawah WHO yang khusus menangani masalah adiksi tembakau dan turunannya.
Di sisi lain, kita juga menghadapi peningkatan prevalensi perokok anak. Data Riskesdas maupun BPS dalam lima tahun terakhir konsisten menunjukkan tren kenaikan. Jika tren ini masih saja berlangsung, sikap abai Pemerintah Aceh tidak memperbaharui Qanun justru memperparah situasi. Adiksi nikotin, baik melalui rokok konvensional maupun elektronik, sejatinya merupakan bentuk penjajahan modern yang merenggut masa depan anak-anak di Aceh.
Baca juga: Aceh Institute: Seluruh kabupaten/kota di Aceh sudah miliki qanun KTR
Eksistensi Qanun Setengah Hati
Salah satu keistimewaan Aceh yang diakui secara resmi adalah kewenangan Qanun untuk menerapkan Qanun, yaitu peraturan setingkat Perda (Peraturan Daerah). Dengan berlandaskan asas hukum lex specialis, derogate legi generalis (hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum), Qanun memiliki supremasi hukum tersendiri di mata rakyat Aceh.
Namun, Qanun Aceh No. 4 Tahun 2020 tentang Kawasan Tanpa Rokok tampak tidak menunjukkan keistimewaan tersebut. Penegakan hukumnya terkesan stagnan dan demotivasi dalam perkembangannya. Berbeda dengan regulasi pusat yang semula diatur dalam UU No. 17 Tahun 2023 tentang kesehatan, yang kemudian berkembang kembali menjadi PP No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 17.
Seharusnya, progresivitas di tingkat nasional inilah yang ditiru oleh pemerintah daerah Aceh jika benar serius berkomitmen mengawal kesehatan masyarakat. Sudah saatnya, pemerintah memberlakukan pembaruan regulasi Qanun Aceh No. 4 Tahun 2020 tentang KTR, tujuannya tak lain untuk menguatkan komitmen dalam pengendalian tembakau di Aceh.
Baca juga: Qanun kawasan tanpa rokok mulai disosialisasi, tahun depan mulai disanksi
Komitmen pemerintah Aceh akan lebih terlihat jika menambah poin-poin revisi seperti: a) mengatur larangan menjual rokok konvensional dan rokok elektronik dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak; b) mengatur larangan menjual secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik; dan c) melarang paparan iklan luar ruangan agar tidak diletakkan dalam radius 500 meter di luar satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Alih-alih stagnan, Qanun Aceh No. 4 Tahun 2020 tentang Kawasan Tanpa Rokok perlu segera diperbaharui agar selaras dengan ancaman kesehatan hari ini. Revisi mendesak mencakup pelarangan penjualan rokok, baik konvensional maupun elektronik, dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak, serta larangan penjualan eceran yang selama ini mempermudah akses anak-anak terhadap rokok. Selain itu, perlu ditegaskan pula pembatasan iklan luar ruang produk tembakau dalam radius lima ratus meter dari fasilitas anak, demi menciptakan ruang publik yang lebih aman dan bebas dari pengaruh adiktif.
Reformasi regulasi pengendalian tembakau di Aceh harusnya menjadi urgensi bagi pemerintah Aceh. Peningkatan prevalensi perokok anak yang terus meningkat progresif setiap tahunnya menyebabkan potensi penurunan produktivitas anak muda Aceh menjadi sebuah keniscayaan. Sudah saatnya pemerintah Aceh berhenti menyandarkan kebijakan pada dokumen yang tak lagi sesuai zaman.
Baca juga: Pemprov Aceh diminta serius terapkan qanun kawasan tanpa rokok
Jika pemerintah pusat telah memulai 'sprint' dalam pengendalian tembakau, maka daerah jangan sampai hanya 'stretching'; tanpa aksi nyata. Apalagi, di era pemerintahan baru, revisi Qanun seharusnya menjadi warisan kebijakan penting untuk masa depan rakyat Aceh yang lebih sehat.
Momentum kemerdekaan ke-80 tahun ini seharusnya dimaknai bukan hanya merdeka dari penjajahan fisik, melainkan juga merdeka dari cengkeraman industri yang mengancam masa depan generasi muda. Ketika anak-anak Aceh masih bebas membeli rokok batangan di dekat sekolah, dan iklan rokok menjamur di ruang publik, maka sesungguhnya negara, dalam hal ini pemerintah daerah, sedang abai menjalankan amanat kemerdekaan itu sendiri.
Masih dalam momentum bulan Kemerdekaan, inilah saat yang tepat bagi Pemerintah Aceh mengambil langkah berani dan menyeluruh demi memerdekakan rakyatnya dari adiksi nikotin. Jika Aceh ingin terus disebut istimewa, maka istimewakan pula perlindungan terhadap generasi mudanya.
*Penulis adalah Mhd. Hafiz Daniel seorang inisiator Komunitas Youth Action on Tactical Transformation (YATTA) dan merupakan anggota koalisi Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC). Ia Memiliki ketertarikan terhadap isu pengendalian tembakau dan aktif pada kegiatan sosial, komunikasi publik, dan advokasi terkait pemberdayaan dan kesehatan.
Baca juga: Pengamat: Qanun KTR Aceh untuk tingkatkan derajat kesehatan masyarakat
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025