Banda Aceh (ANTARA) - Sebagai seorang putra daerah di Aceh Barat yang kini menetap jauh dari kampung halaman, kabar tentang diresmikannya pabrik karet remah pertama di Aceh menyentuh hati saya dengan cara yang tak terlukiskan.

Kampung yang dulu saya tinggalkan dengan berat hati karena keterbatasan ekonomi, kini perlahan-lahan menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Saya merasa pulang -setidaknya secara batin- untuk merayakan kabar baik ini.

Saya membayangkan wajah-wajah petani karet yang kini mulai bercahaya, anak-anak bisa bersekolah dengan lebih layak, dan para pemuda kian sibuk dengan profesi baru.

Kini, Woyla bukan lagi sebuah kecamatan pinggiran nan jauh dari ibukota. Tapi, sebuah daerah yang menjadi episentrum perekonomian Aceh secara umum, dan Aceh Barat secara khusus.

Pabrik karet remah resmi berdiri di Gampong Glee Siblah, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat. Pabrik industri ini diresmikan langsung oleh Hashim Djojohadikusumo, selaku Direktur Utama Arsari Group yang juga adik Presiden Prabowo Subianto.

Turut hadir dalam acara ini, Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau lebih dikenal dengan panggilan Mualem, Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar, dan Bupati Aceh Barat Tarmizi.

Baca juga: Hashim resmikan pabrik karet remah di Aceh Barat

Selaku putra daerah, saya menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Mualem. Bahwa komitmennya untuk menghidupkan iklim investasi di Aceh bukan sekedar basa basi atau isapan jempol.

Dari kejauhan, saya merasakan bahwa kehadiran pabrik karet itu bukan sekadar bangunan industri, tapi simbol harapan baru bagi masyarakat akar rumput yang selama ini bertahan dalam keterbatasan.

Selama bertahun-tahun, petani karet di tanah kelahiran saya hidup dalam lingkaran ketidakpastian. Setiap pagi mereka pergi ke kebun, menyadap karet dengan penuh harap, namun hasil jerih payah itu harus dijual dengan harga yang tak menentu.

Mereka bukan hanya berhadapan dengan alam, tapi juga dengan sistem yang tidak berpihak. Biaya angkut yang tinggi saat menjual getah ke luar daerah kerap menggerus keuntungan, sementara fluktuasi harga membuat mereka sulit merencanakan masa depan.

Tak jarang, petani harus pasrah pada harga yang ditentukan oleh tengkulak, karena tak ada pilihan lain.

Di tengah kelelahan itu, berdirinya pabrik karet di wilayah sendiri ibarat oase di padang tandus: membawa peluang untuk memangkas biaya, meningkatkan daya tawar, dan memberi kepastian bagi masa depan mereka. Kehadiran pabrik karet ini tentu bukan hanya tentang efisiensi distribusi semata, tetapi lebih jauh, ini soal membangun peradaban ekonomi di akar rumput.  Petani yang selama ini hanya menjual bahan mentah, kini memiliki peluang untuk mendapatkan nilai tambah dari hasil kebunnya sendiri.

Lebih dari itu, aktivitas industri yang tumbuh di daerah akan menghidupkan ekosistem ekonomi: mulai dari warung-warung kecil, jasa angkut lokal, hingga sektor informal lain akan ikut bergerak.

Baca juga: Petani karet sambut baik pembangunan pabrik ban

Lapangan kerja pun tercipta, bukan hanya di dalam pabrik, tapi juga di sekitar ekosistem produksinya. Bahkan, terbuka peluang untuk pengembangan sektor hilir, seperti industri barang jadi berbahan dasar karet. Ini bisa menjadi magnet bagi investasi baru yang berbasis potensi lokal, menjadikan kampung halaman bukan lagi sebagai wilayah tertinggal, tetapi sebagai wilayah strategis yang layak dikembangkan dan dibanggakan.

Perlahan tapi pasti, ini akan menahan laju urbanisasi, karena masyarakat punya alasan untuk bertahan dan berkarya di tanahnya sendiri.

Sebagai anak daerah yang tumbuh dari kerasnya hidup di desa dan menyaksikan langsung perjuangan orang tua menyadap karet demi sesuap nasi, saya melihat ini sebagai langkah besar yang patut diapresiasi.

Pabrik karet ini bukan sekadar proyek ekonomi, melainkan simbol pengakuan terhadap peran dan martabat petani. Mereka yang selama ini terpinggirkan dalam rantai produksi, kini punya tempat yang lebih layak dalam narasi pembangunan.

Saya berharap pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat tidak hanya berhenti pada seremoni peresmian, tetapi terus memastikan keberlanjutan dan keberpihakan industri ini kepada rakyat kecil. Karena sejatinya, pembangunan yang bermakna adalah yang menyentuh hidup banyak orang, terutama yang paling sederhana.

Dari jauh, saya menyaksikan semua ini dengan rasa haru dan optimisme, bahwa kampung halaman sedang menuju masa depan yang lebih adil dan sejahtera.

Dari jauh kupandang, saya melihat secercah cahaya yang perlahan tumbuh menjadi terang di tanah kelahiran.

Kehadiran pabrik karet remah ini bukan hanya membawa harapan baru bagi para petani, tetapi juga meneguhkan keyakinan bahwa kemajuan tidak harus selalu datang dari kota besar. Ketika potensi lokal diberi ruang, ketika masyarakat diberdayakan, maka kemajuan sejati akan tumbuh dari bawah—mengakar kuat dan tak mudah goyah.

Saya percaya, jika sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat terus dijaga, maka pabrik ini akan menjadi permulaan dari gelombang kebangkitan ekonomi pedesaan di Aceh. Inilah saatnya kampung kita tidak lagi dipandang sebagai tempat yang ditinggalkan, tetapi sebagai tanah harapan, tempat pulangnya masa depan.

Penulis adalah Adnin AS Woyla, putra daerah Woyla, Aceh Barat, pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Aceh Barat (Ipelmabar) periode 2006-2008.

 



Pewarta: Redaksi Antara Aceh
Editor : M.Haris Setiady Agus
COPYRIGHT © ANTARA 2025