Tapaktuan (ANTARA Aceh) - LSM Forum Pemantau dan Kajian Kebijakan (Formak) Aceh Selatan mensinyalir penggunaan dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sumber APBN yang dikelola Dinas Kesehatan setempat sejak tahun 2016 sarat penyimpangan.
Ketua Formak Aceh Selatan, Ali Zamzami kepada wartawan di Tapaktuan, Senin menyatakan, sesuai Permenkes Nomor 21 Tahun 2016 tentang penggunaan dana kapitasi JKN, dana tersebut dikirim dan dipertanggungjawabkan secara langsung oleh pihak Puskesmas.
Namun kenyataannya yang terjadi di Aceh Selatan, terhadap pengadaan barang dan jasa sumber dana JKN justru diambil alih oleh pihak Dinas Kesehatan sementara yang mempertanggungjawabkan dana tersebut tetap pihak Puskesmas, katanya.
"Atas dadar apa pihak Dinkes mengelola langsung dana JKN tersebut. Padahal sesuai aturan pihak dinas hanya melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan. Atas dasar itu, kami mensinyalir realisasi dana JKN di Aceh Selatan sejak tahun 2016 sarat penyimpangan sehingga perlu diaudit oleh aparat penegak hukum," katanya.
Ali Zamzami menjelaskan JKN tersebut merupakan program Pemerintah Pusat untuk peningkatan pelayanan di Puskesmas yang meliputi dana untuk pengadaan obat, pengadaan alat kesehatan, uang operasional dan jasa pelayanan sehingga Puskesmas bisa lebih optimal melayani masyarakat.
Namun, lanjut Ali Zamzami, berdasarkan keterangan yang dihimpun pihaknya dari sejumlah Puskesmas, pihak Dinas Kesehatan justru langsung mengambil alih pengadaan obat, pengadaan alat kesehatan, pengadaan laptop, komputer, AC dan lain lain.
"Namun proses pengadaan barang-barang itu dilakukan dengan modus tetap menyerahkan uang kepada pihak Puskesmas seolah-olah pihak Puskesmas yang mengadakan termasuk pertanggungjawaban anggarannya juga dibebankan kepada Puskesmas," beber Ali Zamzami.
Kondisi itu, kata dia, sangat di keluhkan oleh sejumlah Puskesmas di Aceh Selatan.
Soalnya, dengan dialihkan pengelolaan dana JKN tersebut dari sebelumnya dikelola langsung oleh pihak Puskesmas kemudian dikelola oleh pihak dinas, telah mengakibatkan ketersediaan obat-obatan di Puskesmas-Puskesmas sering kosong.
Karena ketika pihak Puskesmas membutuhkan jenis obat tertentu harus menunggu selama dua hingga tiga minggu sampai selesainya proses pengadaan obat oleh pihak Dinas Kesehatan. Sementara di sisi lain, kebutuhan obat-obatan terhadap pasien di lapangan sangat mendesak.
"Kebijakan pihak Dinkes Aceh Selatan mengelola langsung dana JKN tersebut mengakibatkan pelayanan terhadap masyarakat tidak optimal. Karena dampak dari itu mengakibatkan ketersediaan obat sering kosong di Puskesmas," kata Ali Zamzami.
Menurut dia, terganggunya pelayanan terhadap masyarakat karena kebijakan pengambil alihan pengelolaan dana JKN itu secara otomatis mengakibatkan pihak Puskesmas tidak bisa melakukan proses pengadaan obat-obatan secara langsung, tanpa harus menunggu selesainya proses pengadaan dari Dinas Kesehatan.
"Sebab ketika pihak Puskesmas meminta obat-obatan yang sudah kosong ke pihak Dinas Kesehatan, dalam waktu dua minggu belum tentu sampai obat dimaksud. Sementara aturan sekarang terhadap pasien yang menderita penyakit tertentu harus menjalani rawat inap di Fasilitas Kesehatan (Faskes) tingkat I yakni Puskesmas," ujar dia.
Sementara di sisi lain kondisi kekosongan obat bisa mengakibatkan pasien yang sudah sekarat bisa meninggal dunia. Ketika pihak dokter di Puskesmas tidak sanggup menangani lagi, maka jalan satu-satunya adalah merujuk pasien ke RSUD YA Tapaktuan, katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Aceh Selatan Mardhaleta M Taher yang dikonfirmasi menyangkal tudingan yang menyebutkan pihaknya mengelola langsung dana JKN yang berjumlah mencapai Rp25 miliar/tahun.
"Bukan mengelola langsung, tapi kami hanya memverifikasi saja usulan yang diajukan masing-masing Puskesmas, sehingga usulan tersebut benar-benar sesuai kebutuhan di lapangan, sehingga tidak terjadi kasus ada satu jenis barang namun berbeda harga," katanya.
Langkah ini dilakukan sekaligus untuk memastikan bahwa proses pengadaan barang dan jasa sumber dana JKN tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, ujar Mardhaleta.
Pihaknya, sambung Mardhaleta, tidak pernah memaksa pihak Puskesmas untuk menyerahkan proses pengadaan barang sumber dana JKN tersebut kepada pihak Dinkes.
Pihaknya, kata Mardhaleta lagi, hanya sebatas memverifikasi dan mengarahkan agar prosesnya tidak melanggar aturan.
Namun yang terjadi selama ini, kata dia, karena pihak Puskesmas tidak begitu faham dengan spesifikasi teknis sesuai kebutuhan di lapangan serta tidak mau repot-repot maka proses pengadaan barang tersebut diserahkan langsung kepada pihak dinas.
"Itupun bukan kami yang adakannya tapi kami arahkan kepada pihak ketiga. Tapi dalam kondisi tertentu diperbolehkan pihak dinas mengadakannya sejauh sesuai kebutuhan di lapangan," tegas Mardhaleta.
Saat ini, lanjut Mardhaleta, pihaknya sedang mencari formulasi yang tepat dalam proses pengadaan barang dan jasa sumber dana JKN dimaksud, yakni apakah pengadaannya dilakukan langsung oleh pihak Puskesmas, apakah oleh pihak dinas atau melalui pihak ketiga.
"Pengadaan barang sumber JKN boleh secara langsung pihak Puskesmas, boleh juga pihak Dinas Kesehatan atas persetujuan Puskesmas dan boleh juga pihak ketiga setelah melalui proses verifikasi dinas. Saat ini kami sedang mencari formulasi yang tepat. Tapi khusus terhadap pengadaan barang Rp5 juta - Rp 10 juta ke bawah tentu saja langsung pihak Puskesmas, tidak mungkin pihak ketiga," tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Mardhaleta juga membantah kondisi seringnya terjadi kekosongan obat di Puskesmas.
Menurutnya, kekurangan obat itu disebabkan pengadaan obat harus sesuai e-kataloc, sementara barang-barang yang dibutuhkan itu sedang kosong di pabriknya.
"Meskipun demikian, pengadaan obat bisa disesuaikan karena alternatif obat banyak. Bahkan untuk pengadaan obat-obat tertentu bisa dilakukan langsung oleh pihak Puskesmas, namun tetap harus dilaporkan ke dinas untuk diverifikasi guna menghindari pengadaan obat itu disalahgunakan. Agar pelayanan terhadap masyarakat tidak terganggu," katanya.
Pewarta: Hendrik
COPYRIGHT © ANTARA 2025