Tapaktuan (Antaranews Aceh) - Forum Bedah Desa Nasional (FBDN) meminta kepada Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf tidak tunduk dengan keinginan dan kepentingan oknum anggota DPRA terkait polemik berlarut-larutnya pembahasan dan pengesahan RAPBA tahun 2018.

"Kami mempercayai kemampuan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam menyusun dan mengelola program kegiatan untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat Aceh yang dituangkan dalam RAPBA 2018," kata Ketua FBDN, T Sukandi kepada wartawan di Tapaktuan, Senin.

Soalnya, menurut dia, tarik ulur pembahasan dan pengesahan RAPBA tahun 2018 tersebut diduga sengaja diciptakan oleh segelintir oknum anggota DPRA untuk mengakomodir kepentingan politik mereka melalui program dana aspirasi yang dibungkus dalam bentuk pokok-pokok pikiran dewan.

Ia berpendapat, silang pendapat antara Gubernur Aceh dengan pimpinan dan anggota DPRA terkait polemik pembahasan dan pengesahan RAPBA tahun 2018, merupakan bagian dari upaya pembelajaran (edukasi) oleh Gubernur Irwandi Yusuf terhadap pihak DPRA.

Sebab, lanjutnya, Irwandi Yusuf bukan sekedar Gubernur yang terpilih pada Pilkada 2017 lalu akan tetapi juga merupakan mantan Gubernur Aceh periode 2007-2012.

Artinya, kata T Sukandi, selama lima tahun menjabat sebagai Gubernur Aceh beliau telah dituntun berbagai pengalaman dalam mengelola dan membahas RAPBA menjadi APBA.

"Maka pengalaman itu menjadi soko guru bagi beliau didalam mengetahui keinginan-keinginan yang tersirat dari mitra kerjanya di DPRA," tutur dia.

Gubernur Irwandi Yusuf tidak perlu diajari lagi mengenai rancangan qanun RAPBA menjadi produk hukum yang sah. Beliau sudah cukup matang dalam menyusun dan mengelola program anggaran untuk kepentingan rakyat, tegas T Sukandi.

Padahal, kata dia, jika dicermati dan diikuti aturan yang ada, tidak ada alasan yang membenarkan pembahasan dan pengesahan RAPBA terus berlarut-larut sampai menghabiskan waktu berbulan-bulan. Bahkan hingga melewati batas waktu terakhir tahun berjalan.

Dia menjelaskan, pembahasan rencana anggaran dan penetapan anggaran Aceh lima tahun ke depan merupakan akumulasi kebutuhan belanja Aceh lima tahun ke depan yang dikelola oleh masing-masing SKPA, termasuk kebutuhan anggaran untuk seluruh kabupaten/kota.

Makanya, kata dia, semua program SKPA tersebut harus dirasionalkan oleh Badan Anggaran (Banggar) DPRA bersama Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA). Rasionalisasi tersebut harus dilakukan agar adanya keseimbangan antara kebutuhan program dengan kemampuan keuangan.

Namun, menurut T Sukandi, yang menjadi penyebab sehingga pembahasan dan pengesahan RAPBA dimaksud selalu terlambat di Provinsi Aceh, karena dalam prosesnya telah disusupi oleh kepentingan berbagai pihak dari kalangan oknum DPRA.

"Penyebabnya karena disusupi kepentingan oknum DPRA itu sendiri. Dengan alasan adanya pokok-pokok pikiran anggota DPRA didalam menyerap aspirasi masyarakat dengan alasan adanya aspirasi tertinggal atau tercecer didalam daerah pemilihan (dapil) masing-masing," sesalnya.

Hal inilah, sambung T Sukandi, yang melahirkan penilaian bahwa pihak DPRA bukan sekedar menampung aspirasi masyarakat akan tetapi DPRA lebih mengutamakan mengejar dana aspirasi dimaksud untuk kepentingan politik mereka.

"Sehingga akibat di tunggangi berbagai kepentingan tersebut. Yakni antara kepentingan dana aspirasi dewan dengan program masing-masing SKPA mengakibatkan kacaunya sistem penganggaran," katanya.



Pewarta: Hendrik
Uploader : Salahuddin Wahid
COPYRIGHT © ANTARA 2025