Banda Aceh (ANTARA) - Kejaksaan Negeri Bireuen, Provinsi Aceh, menyatakan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) menyetujui penyelesaian kasus penganiayaan berdasarkan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ).
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bireuen Munawal Hadi di Banda Aceh, Selasa, mengatakan Jampidum menyetujui penyelesaian perkara penganiayaan tersebut setelah para pihak berdamai.
"Perkara penganiayaan tersebut dengan tersangka berinisial DF. Perkara penganiayaan tersebut diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif setelah korban dengan tersangka berdamai. Tersangka juga berjanji tidak mengulangi perbuatannya," katanya.
Sebelumnya, kata dia, pihaknya menggelar ekspose penyelesaian perkara penganiayaan berdasarkan keadilan restoratif dengan tersangka DF secara virtual.
Ekspose dilakukan bersama Direktur Orang dan Harta Benda (Orharda) Jampidum Kejaksaan Agung Nanang Ibrahim serta Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Yudi Triadi.
"Berdasarkan ekspose tersebut, Jampidum menyetujui penyelesaian perkara penganiayaan dengan tersangka DF. Dengan adanya persetujuan tersebut, maka Kejari Bireuen sudah menyelesaikan dua perkara berdasarkan keadilan restoratif dalam tahun ini," katanya.
Munawal Hadi menyebutkan penganiayaan dilakukan DF terjadi di sebuah warung kopi di Desa Ulee Glee, Kecamatan Makmur, Kabupaten Bireuen. Korban berjualan mi di warung tersebut.
Saat itu, korban ke belakang warung mengambil baskom dan berjumpa DF yang sedang duduk. Korban menyapa DF dalam bahasa Aceh dengan kalimat "Kiban, na can". Artinya, bagaimana ada rezeki selama ini.
Selanjutnya, korban kembali ke depan warung dan meninggalkan DF. Setelah beberapa langkah, tiba-tiba DF memukul kepala korban dari belakang. DF juga memukul pundak dan perut korban. Korban akhirnya melaporkan penganiayaan tersebut ke kantor polisi.
"Perbuatan DF melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Ancaman hukumannya paling lama dua tahun delapan bulan penjara. Dengan adanya persetujuan tersebut, maka penyelesaian perkara tidak dilanjutkan ke pengadilan," kata Munawal Hadi menyebutkan.
Kajari Bireuen menyebutkan penyelesaian perkara berdasarkan restoratif merupakan tindak lanjut program Jaksa Agung. Di mana penyelesaian sebuah perkara tidak harus melalui proses peradilan atau persidangan di pengadilan.
Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara adalah upaya terakhir. Jadi, apa bila ada persoalan hukum diupayakan diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif dan tidak harus ke pengadilan, kata Munawal Hadi.
Akan tetapi, kata dia, ada syarat penyelesaian perkara hukum berdasarkan keadilan restoratif. Di antaranya, para pihak, baik korban maupun pelaku sudah berdamai. Pelaku berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban juga tidak lagi menuntut.
Persyaratan lainnya, pelaku baru pertama melakukan tindak pidana, bukan residivis atau orang yang pernah menjalani pidana. Serta ancaman pidananya kurang dari lima tahun.
"Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh, di mana penyelesaian sebuah perkara dimusyawarahkan kedua pihak yang disaksikan tokoh masyarakat," kata Munawal Hadi.
Pewarta: M.Haris Setiady AgusEditor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025