"Sangat disayangkan kebijakan Pemkab Aceh Selatan tidak memungut pajak dari tower sejumlah perusahaan telekomunikasi yang ada di daerah ini. Padahal jika dipungut dapat menambah PAD," kata Ketua Libas, Mayfendri kepada wartawan di Tapaktuan, Selasa.
Menurutnya, di Kabupaten Aceh Selatan berdiri sekitar 80 tower dari beberapa perusahaan telekomunikasi yang tersebar di 18 kecamatan mulai dari Labuhanhaji Barat sampai Trumon Timur. Tower-tower tersebut mayoritasnya merupakan milik perusahaan Telkomsel dan sebagian lagi dari Indosat dan XL Axiata Tbk.
"Jika dikalkulasikan setiap bulannya ada sekitar ratusan juta rupiah sumber PAD yang tidak terserap dari PBB tower perusahaan telekomunikasi tersebut," sesalnya.
Jika kebijakan pungutan PBB dimaksud terbentur akibat belum adanya regulasi yang mengatur tentang itu, maka Libas meminta kepada pihak DPRK setempat agar segera membahas dan mengesahkan rancangan qanun tentang retribusi menara telekomunikasi agar bisa segera dipungut menjadi PAD Aceh Selatan.
"DPRK Aceh Selatan segera membahas rancangan qanun retribusi menara telekomunikasi supaya daerah diuntungkan," pintanya.
Mayfendri juga menyayangkan tanggapan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Aceh Selatan, Diva Samudra Putra yang membantah ada kebocoran peluang PAD yang bersumber dari tower Telkomsel di depan Kantor Bupati Aceh Selatan, Jalan T. Ben Mahmud Tapaktuan.
"Saya kecewa atas pernyataan Kepala BPKD Aceh Selatan yang menyatakan kritikan saya itu tendensius, padahal itu sebagai masukan bagi pihaknya untuk peluang PAD bagi daerah," sesalnya.
Menurutnya, keberadaan tower combegt Telkomsel di depan Kantor Bupati Aceh Selatan itu telah berdiri selama 4 tahun lebih. Namun, sejauh ini tidak dimasukan dalam agenda peluang PAD melalui PBB.
"Padahal pihak Telkomsel bersedia membayar apabila ada surat dari Pemkab Aceh Selatan, namun masukan kita itu dianggap tendensius," ucapnya.
Kepala BPKD Aceh Selatan, Diva Samudra Putra menyatakan, pernyataan Ketua Libas, Mayfendri terlalu tandensius yang mengatakan adanya "kebocoran PAD" dan merugikan daerah.
"Karena uang itu tidak pernah masuk ke Rekening Umum Daerah (RKUD). Jadi sangat tidak beralasan ini disebut kebocoran, bahkan tidak etis," tegasnya.
Pewarta: HendrikUploader : Salahuddin Wahid
COPYRIGHT © ANTARA 2025