Nagan Raya (ANTARA) - Ketua Komisi II DPRK Nagan Raya Zulkarnain meminta DPR Aceh segera menyelesaikan pembentukan qanun (peraturan daerah) tentang pengelolaan pertambangan mineral dan batubara (minerba).
“Rancangan Qanun Pengelolaan Minerba Aceh sudah beberapa tahun mandek pembahasannya di DPRA, padahal qanun tersebut amat sangat mendesak dibentuk sehubungan dengan maraknya tambang ilegal di Kabupaten Nagan Raya, termasuk di sejumlah kabupaten lainnya di Aceh yang mengakibatkan kerusakan lingkungan,” kata Zulkarnain di Nagan Raya, Kamis.
Menurutnya, maraknya tambang ilegal tersebut diakui karena rasa keengganan pemerintah menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), sehingga rakyat yang merasa memiliki hak atas kekayaan alam daerahnya melakukan penambangan secara tanpa izin.
Akibatnya, lingkungan menjadi rusak dan berpotensi terjadinya bencana alam di masa mendatang akibat tidak adanya kontrol dan pengendalian dari pemerintah.
Disamping itu, kegiatan penambangan ilegal telah merugikan keuangan Negara/daerah karena kehilangan pendapatan dari sektor pajak serta sektor-sektor lainnya
“Akibat aktivitas tambang ilegal telah menimbulkan tindak kriminal lainnya seperti penyalahgunaan BBM bersubsidi, dan sejumlah persoalan lainnya,” kata Zulkarnain menambahkan.
Sebagai solusi, kata dia, Pemerintah Aceh harus menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) bagi Rakyat Aceh.
Pihaknya juga meminta DPRA agar segera menyelesaikan Pembentukan Qanun Pengelolaan Minerba dimana di dalamnya diatur tentang IPR dan WPR.
Zulkarnain mengatakan , Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) merupakan amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan "Lex Specialis" bagi Aceh yang wajib dijalankan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA.
Ia mengatakan, IPR dan WPR juga diamanahkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berlaku secara nasional.
Merujuk pada kedua Undang-undang tersebut, menunjukkan adanya niat baik negara dan pemerintah pusat, untuk memberi jaminan dan ruang ekonomi sektor tambang bagi rakyat kecil yang seharusnya ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah daerah, agar rakyat merasa memiliki kedaulatan ekonomi atas kekayaan alamnya sendiri.
Zulkarnain mengatakan ketidakhadiran qanun/Perda tersebut, menggambarkan ketidakpekaan Pemprov Aceh dan DPR Aceh terhadap persoalan rakyat, Persoalan lingkungan dan Persoalan ekonomi daerah.
Sementara itu, Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk perusahaan-perusahaan besar dari luar Aceh seperti Jakarta dan Kalimantan terus diterbitkan.
“Mereka (pelaku usaha luar) mendapatkan ribuan hektare lahan tambang di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten lainnya di Aceh. Bahkan IUP yang dikeluarkan secara serampangan. Misalnya lahan perkebunan rakyat tiba-tiba di atasnya sudah keluar IUP tanpa diketahui oleh pemilik lahan, DAS sungai sudah menjadi IUP,” katanya.
Zulkarnain mengatakan maka tidak ada alasan lagi bagi DPRA dan Pemerintah Aceh untuk mengabaikan pengesahan Qanun tentang Pengelolaan Pertambangan Minerba, jika benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat Aceh.
Pewarta: Teuku Dedi IskandarEditor : M.Haris Setiady Agus
COPYRIGHT © ANTARA 2025