Tapaktuan (ANTARA Aceh) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Yayasan Hutan Gunung Lestari (YHGL) mendesak Pemkab Aceh Selatan segera  menyelesaikan persoalan sengketa lahan antara warga dengan perusahaan perkebunan PT Asdal Prima Lestari.

"Kami juga meminta kepada Polres Aceh Selatan agar segera menghentikan proses hukum dan pemeriksaan terhadap warga dengan mencabut status wajib lapor yang telah disandangkan selama ini," kata Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur dan Ketua YGHL Aceh Selatan Sarbunis di Tapaktuan, Jumat  .

Mereka juga menyatakan, pihak kepolisian harus memeriksa PT Asdal, karena diduga menyerobot lahan warga.

Mereka menilai, secara fakta bukan warga menyerobot lahan perusahaan melainkan HGU PT Asdal lah yang masuk ke lahan warga.

Kebijakan cepat dan konkrit, menurut Muhammad Nur penting harus segera diambil oleh Pemkab Aceh Selatan, sebab berdasarkan informasi yang diterima kemungkinan besar ke depannya masih banyak warga yang lain akan turut dipanggil oleh polisi untuk menjalani pemeriksaan.

Informasi dihimpun, konflik lahan antara warga tiga gampong (desa) di Kecamatan Trumon Timur dengan HGU PT Asdal sudah berlangsung sejak tahun 1996 hingga tahun  2017.

Namun, beberapa waktu lalu terkait keberadaan kebun warga dalam areal HGU sempat diakui oleh PT Asdal, kata Sarbunis.

Puluhan warga Trumon Timur yang menggarap lahan perkebunan sawitnya sempat terhenti karena konflik RI - GAM. Namun paska damai warga memulai kembali menggarap lahan yang sudah ditinggalkan dalam masa konflik.

Namun tindakan warga tersebut ternyata justru memicu konflik kembali karena PT Asdal mengklaim lahan tersebut masuk ke dalam HGU mereka. Akhirnya permasalahan pun kembali terjadi sejak tahun 2008 sampai dengan 2017, ujar dia.

Berbagai upaya  sudah dilakukan warga dalam upaya penyelesaian konflik, mulai dari aksi massa hingga berdialog dengan pemerintah.

Terkait konflik tersebut, pada tahun 2009, anggota DPRK Aceh Selatan telah meninjau lahan sengketa, ditemukan sejumlah bukti fisik seperti pemakaman umum, bekas pemukiman penduduk dan sejumlah tanaman tua seperti pohon kelapa dan lainnya.

Pada tahun 2010, Bupati Aceh Selatan bersama Kapolres telah turun ke lapangan melakukan audiensi penyelesaian kasus. Bahkan pada tahun 2014 DPRK Aceh Selatan telah membentuk Pansus penyelesaian konflik lahan perkebunan tersebut.

Tapi, kasus sengketa lahan warga dengan PT Asdal juga tidak kunjung selesai, meskipun pada 24 November 2009 Bupati Aceh Selatan telah menyurati PT Asdal untuk menghentikan sementara aktivitas di lahan sengketa.

Dampak dari sengketa lahan tersebut, dalam rentang waktu 2009 - 2010 banyak perilaku buruk dari pihak perusahaan yang dialami warga, kata Sarbunis.

Dikatakan, warga kerap mendapatkan sejumlah ancaman saat mendatangi kebun mereka sendiri. Perusahaan juga terus memperluas areal HGU dibawah pengawalan oknum polisi.

Dan pada akhir Maret 2017, secara bertahap Polres Aceh Selatan memanggil dan memeriksa warga terkait tuduhan penyerobotan lahan PT Asdal Prima Lestari, katanya.

Walhi Aceh dan YGHL Aceh Selatan menyesalkan keputusan pihak Polres setempat telah memeriksa 16 orang warga tiga gampong dalam Kecamatan Trumon Timur karena dituduh telah menyerobot lahan PT Asdal Prima Lestari.

Sebanyak 16 orang warga tersebut masing-masing tujuh orang warga Gampong Kapa Sesak, lima orang warga Gampong Krueng Luas dan empat orang warga Gampong Titi Poben.

Namun, dari 16 orang tersebut, 12 orang diantaranya telah ditetapkan wajib lapor setiap hari Senin ke Mapolres Aceh Selatan di Tapaktuan dan KTP mereka ditahan. Empat orang lagi tidak wajib lapor namun tiga KTP-nya tetap ditahan oleh polisi, kecuali hanya satu orang yang tidak wajib lapor dan KTP-nya tidak ditahan meskipun berstatus terperiksa, katanya.

Muhammad Nur dan Sarbunis menilai pemanggilan dan pemeriksaan warga yang dilakukan oleh pihak Polres Aceh Selatan tersebut merupakan tindakan kriminalisasi hukum terhadap warga yang sedang mempertahankan hak mereka sendiri atas tanah.

"Tindakan polisi memanggil dan memeriksa warga tersebut, kami nilai bagian dari kriminalisasi hukum, apalagi 12 dari 16 orang berstatus terperiksa tersebut diwajibkan melapor ke Mapolres Aceh Selatan setiap hari Senin," ujar dia.

Ini sangat bertentangan dengan agenda Presiden Jokowi sedang melakukan reformasi agraria dengan semangat membagi 10,2 juta hektare lahan perkebunan kepada masyarakat, kata mereka.

Berdasarkan kronologis kasus yang dihimpun Walhi Aceh dan YGHL Aceh Selatan, kata Muhammad Nur, Pemkab Aceh Selatan terkesan seperti "hilang taring" ketika berhadapan dengan PT Asdal sehingga patut dicurigai Pemkab sedang berkompromi dengan perusahaan itu.

Demikian juga halnya dengan pihak Polres Aceh Selatan, sebab terkait pemanggilan warga, polisi seharusnya tidak hanya menggunakan pasal 55 huruf (a) Undang-undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.

Melainkan, lanjut dia, seharusnya dalam perkara ini lebih tepat menggunakan huruf (b) tentang larangan mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan yang disangkakan kepada PT Asdal Prima Lestari.



Pewarta: Hendrik
Uploader : Salahuddin Wahid
COPYRIGHT © ANTARA 2025