Banda Aceh (ANTARA) - Pakar Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (USK) Dr Chenny Seftarita SE MSi menyatakan sudah saatnya pelaku usaha di Aceh untuk beradaptasi dengan perkembangan digitalisasi ekonomi guna memiliki berdaya saing tinggi.

“Saya pikir, mau tidak mau, siap atau tidak siap, kita harus menyiapkan perekonomian Aceh ke arah digitalisasi ekonomi,” kata Chenny di Banda Aceh, Sabtu.

Chenny menjelaskan selama pandemi COVID-19, penggunaan sistem pembayaran non tunai di Indonesia semakin meningkat, terlihat dari menurunnya pertumbuhan uang kartal. Hal ini memperlihatkan masyarakat sudah lebih banyak menggunakan alat transaksi non tunai dalam aktivitas ekonomi.

Di Aceh, penggunaan uang elektronik (UE) juga mengalami tren peningkatan, baik jumlah nominal transaksi maupun jumlah pelaku perdagangan (merchant) yang melayani pembayaran berbasis UE.

Data Bank Indonesia, kata dia, pada triwulan IV 2021, transaksi UE secara nominal tercatat sebesar Rp688,94 miliar atau naik sebesar 14,48 persen (qtq) dan 152,98 persen (yoy). Dari sisi volume, transaksi UE juga terakselerasi sebesar 13,14 persen (qtq) dan 109,48 persen (yoy) atau mencapai 5,45 juta transaksi selama triwulan IV 2021.

“Kondisi ini menunjukkan bahwa preferensi masyarakat Aceh terhadap penggunaan uang elektronik sudah mengalami peningkatan. Kondisi ini harus dimanfaatkan oleh dunia usaha di Aceh, termasuk UMKM untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan penggunaan transaksi non tunai ini,” katanya.

Selain itu, kata Chenny, ada dua hal yang muncul dalam menghadapi transformasi ekonomi digital, yaitu peluang dan tantangan. Di sisi peluang, para pelaku UMKM di Aceh harus memanfaatkan era digital untuk memperluas pasar ke seluruh Indonesia dalam menjual produk secara online, sekaligus pembayarannya.

Maka dibutuhkan sangat kesiapan para pelaku usaha, terutama pada sistem pemasaran berbasis online (e-commerce), atau paling sederhana memanfaatkan media sosial.

“Hal ini tentunya tidak mudah, perlu dukungan pemerintah untuk memberikan pendampingan bagi pengusaha UMKM di Aceh,” kata Koordinator Program Studi Ekonomi Pembangunan FEB USK itu.

Dari sisi tantangan, kata dia, tentu pada kesiapan sumber daya manusia (SDM). Saat ini masih banyak pengusaha kecil yang belum dapat memanfaatkan internet dan perubahan teknologi digital. Bahkan ketersediaan pasar online saat ini seperti Shopee, Lazada, Bukalapak, dan lainnya belum dapat dimanfaatkan para pengusaha kecil di Aceh.

Hal itu, disebabkan sistem pembayaran serta akses internet di beberapa daerah masih kurang memadai. Maka kondisi ini harus menjadi perhatian pemerintah, dalam upaya memperlancar sistem pembayaran dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal.

“Transformasi ekonomi digital jika tidak diikuti oleh kesiapan SDM pada pengusaha lokal, serta tidak diikuti kesiapan infrastruktur, seperti jaringan internet yang memadai, ke depan dapat merugikan pengusaha UMKM kita,” katanya.

Oleh sebab itu, menurut dia, pemerintah harus memberikan pendampingan, pelatihan, sosialisasi,  secara berkelanjutan bagi pengusaha UMKM agar dapat lebih melek teknologi dan beradaptasi terhadap transformasi ekonomi digital.

Tentunya, pemerintah dapat bekerjasama dengan berbagai pihak, salah satunya seperti Bank Indonesia untuk edukasi sistem pembayaran non tunai ke pelaku usaha dan masyarakat.

“Hal yang tidak kalah penting adalah keterlibatan perguruan tinggi dalam sosialisasi dan edukasi ekonomi digital ke masyarakat melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat,” katanya.

Selain itu, Chenny juga menyarankan agar Aceh memiliki satu pasar online yang mewadahi semua UMKM di Tanah Rencong itu. Sebab, pasar digital sudah menjadi tren di provinsi lain terutama di Pulau Jawa.

“Bahkan mereka memiliki pasar digital tingkat desa. Tentunya jika Aceh memiliki pasar digital yang cukup besar tentu akan sangat membantu promosi dan pemasaran produk lokal,” katanya.
 

Pewarta: Khalis Surry
Editor : Heru Dwi Suryatmojo
COPYRIGHT © ANTARA 2025