Banda Aceh, 20/11 (Antaraaceh) - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Iskandar Al-Farlaky meminta Pemerintah Pusat agar memahami proses panjang perjalanan perdamaian untuk mengakhiri konflik bersenjata di provinsi ujung paling barat Indonesia itu.

"Kami meminta Pemerintah Pusat harus membuka kembali sejarah, kemudian memahami proses perdamaian Aceh yang selanjutnya melahirkan MoU antara Pemerintah RI dan GAM," katanya di Banda Aceh, Kamis.

Iskandar mengatakan hal tersebut menanggapi pernyataan Menkopolhukam Tedjo Edi Purdijatno yang menyebut penggantian bendera dan lambang Aceh.

Politisi Partai Aceh itu mengharapkan Pemerintah Pusat sebaiknya juga bersikap ikhlas terkait isi perjanjian perdamaian. "Kita (Aceh) sudah sangat bersabar melakukan berbagai upaya untuk menjaga perdamaiaan ini," kata Iskandar Al Farlaky.

Sebaliknya, Ketua KNPI Aceh Timur itu juga meminta Pemerintah Pusat tidak perlu menaruh rasa curiga mengenai apa yang telah diputuskan oleh pemerintah dan legislatif Aceh, karena semua produk qanun (perda) tersebut tetap dalam bingkai NKRI.

"Aceh, tidak pernah meminta lebih. Ini adalah keputusan bersama bukan hanya partai lokal, tapi juga partai politik nasional. Kita berharap Wapres Jusuf Kalla sebagai salah satu aktor perdamaiaan Aceh tetap lebih bijaksana," kata dia mengharapkan.

Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam diwilayah perairan lepas pantai Aceh, Iskandar mengharapkan Pemerintah Pusat dapat memberikan kewenangan bagi daerahnya untuk pengelolaannya hingga 200 mil.

"Sesuai dengan apa yang termaktub dalam MoU, batas laut adalah 200 mil. Kami berharap pusat juga tidak menggunakan landasan hukum lain termasuk membelokkan ke konfrensi PBB tahun 1982 tentang hukum laut yang hanya memperbolehkan 12 mil selepas pesisir pantai," katanya menjelaskan.

Menurutnya, seharusnya Pemerintah Pusat lebih fokus pada aturan dan ketentuan pertemuan bahwa MoU dan UUPA adalah aturan yang harus dijalankan para pihak setelah perdamaiaan tersebut.

Pewarta : Azhari


Uploader : Salahuddin Wahid
COPYRIGHT © ANTARA 2025