Jakarta (ANTARA) - Fenomena perundungan di lingkungan pendidikan Indonesia bukanlah gejala baru, namun dalam beberapa tahun terakhir kasus-kasusnya kian mencuat ke permukaan dengan pola yang semakin kompleks. Salah satu aspek yang kerap luput dibahas tetapi memiliki pengaruh kuat adalah budaya “gengsi sekolah” rasa bangga berlebihan terhadap identitas sekolah yang pada titik tertentu dapat bergeser menjadi tekanan sosial dan ruang subur bagi perundungan.
Data resmi SIMFONI PPA menunjukkan kenyataan pahit, Semester I 2025 mencatat 392 kasus kekerasan dengan 426 korban. Dari jumlah tersebut, 56,9% berupa kekerasan seksual, 25,8% kekerasan fisik, dan 12,9% kekerasan psikis. Angka itu terus meningkat, menjadi 519 kasus hingga Agustus 2025, dan mencapai 586 kasus per September 2025. Mirisnya, 86% korban adalah perempuan dan 72% di antaranya anak-anak.
Ketika Lonceng Berbunyi
Setiap pagi, lonceng berbunyi di banyak sekolah di Indonesia, bersamaan dengan langkah ratusan siswa yang memasuki gerbang. Di antara keramaian seragam yang serupa, tersembunyi kisah-kisah yang berbeda termasuk kisah tentang mereka yang takut menghadapi hari baru, karena apa yang menunggu bukan pelajaran, tetapi perlakuan yang menyakitkan.
Kisah seperti itu bukan satu dua kali terdengar. Di ruang kelas, lorong gelap, grup pesan singkat, hingga media sosial, perundungan berkembang dalam bentuk yang semakin halus sekaligus kejam. Sekolah yang menjunjung tinggi prestasi dan reputasi, tetapi kadang lupa bahwa di balik bangunan megah dan catatan kemenangan, ada murid yang terluka secara diam-diam.
Baca juga: DP3A: Perundungan anak di sekolah bisa berujung bunuh diri
Gengsi sekolah yang bagi sebagian orang menjadi kebanggaan sering menjadi ruang sosial yang memproduksi tekanan baru. Dalam narasi inilah perundungan kerap muncul sebagai mekanisme untuk mempertahankan status. Di tangan para pelakunya, perundungan menjadi alat untuk menegaskan identitas kelompok, baik melalui intimidasi, cemooh, maupun pengucilan.
Namun ketika gengsi berubah menjadi tembok eksklusif, ia menjadi sumber perpecahan. Anak-anak yang dianggap tidak memenuhi standar sosial baik karena penampilan, kemampuan belajar, latar keluarga, atau hal-hal kecil seperti gaya bicara mulai ditempatkan dalam hierarki sosial yang tidak pernah mereka pilih.
Di beberapa sekolah, hierarki itu begitu kuat hingga murid-murid tertentu terasa seperti memiliki otoritas informal. Mereka menjadi pusat perhatian, memiliki akses ke kelompok populer, dan sering kali lebih dekat dengan figur guru atau senior yang dihormati. Posisi ini membuat mereka memiliki kekuasaan tidak tertulis, yang jika disalahgunakan, dapat menjadi sumber perundungan. Kekuasaan kecil inilah yang menjadikan perundungan bukan sekadar insiden, tetapi bagian dari budaya sosial sekolah.
Halaman selanjutnya: perundungan di sekolah Islam
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025