Banda Aceh (ANTARA) - Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen, Provinsi Aceh, mendamaikan perkara penganiayaan melibatkan kakak beradik berdasarkan keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ), sehingga kasus tersebut tidak sampai ke pengadilan.

Kepala Kejari Bireuen Munawal Hadi di Bireuen, Senin, mengatakan proses perdamaian perkara penganiayaan tersebut melibatkan jaksa fasilitator serta tersangka dan korban yang merupakan kakak  beradik dan didampingi keluarga serta perangkat desa.

"Perkara ini dengan tersangka berinisial MA serta korban Ramlah dan Mutia Rahmi.  Dalam proses perdamaian tersebut, kedua pihak saling bermaafan yang disaksikan keluarga dan aparat desa. Tersangka juga berjanji tidak mengulangi perbuatannya," kata Munawal.

Mantan Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Aceh itu menyebutkan penganiayaan terjadi di Desa Glumpang Bungkok, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, pada 27 Mei 2025 pukul 16.25.

Ketika itu, kata Munawal, anak MA pulang mengaji sambil menangis dengan rambut acak-acakan. Istri MA menanyakan kepada anaknya apa yang terjadi. Si anak menjawab rambut dijambak anak Ramlah.

Selanjutnya, si istri memberitahukan kepada MA dan meminta MA memperingatkan Ramlah. Kemudian, MA mendatangi Ramlah dan mengingatkan agar anak Ramlah tidak memukuli anaknya.

"Saat itu, MA juga meninju Ramlah sebanyak dua kali. Selain Ramlah, Mutia Rahmi yang hendak melerai mereka juga ditinju MA di bagian kepala. Atas kejadian tersebut, keduanya melaporkan ke polisi," katanya.

Munawal Hadi mengatakan perbuatan tersangka MA melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP dengan ancaman hukuman paling lama dua tahun delapan bulan penjara.

Perdamaian merupakan syarat penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif. Berdasarkan berita acara perdamaian, Kejari Bireuen meneruskannya ke Kejaksaan Tinggi Aceh guna mendapatkan persetujuan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum untuk penghentian perkara.

"Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif merupakan tindak lanjut program Jaksa Agung. Di mana, penyelesaian sebuah perkara tidak harus melalui proses persidangan di pengadilan," katanya.

Ia menyebutkan tidak semua perkara diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif. Adapun syarat penyelesaian perkara berdasarkan keadilan di antaranya pelaku dan korban sudah berdamai. Pelaku juga menyatakan tidak mengulangi perbuatannya.

Kemudian, pelaku baru pertama melakukan tindak pidana atau pelaku bukan residivis atau orang yang pernah dihukum. Serta ancaman hukumannya tidak lebih dari lima tahun penjara.

"Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh, di mana penyelesaian sebuah perkara dimusyawarahkan kedua pihak yang disaksikan tokoh masyarakat," kata Munawal Hadi.

 

Baca juga: Kejari Bireuen beri pendampingan hukum pembangunan sektor pendidikan



Pewarta: M.Haris Setiady Agus
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025