Banda Aceh (ANTARA) - Akademisi hukum Universitas Syiah Kuala (USK) Taqwaddin menyarankan Majelis Adat Aceh (MAA) menginisiasi lahirnya qanun pidana adat sesuai dengan KUHP Nasional 2026.
"Kami menyarankan MAA menginisiasi qanun pidana adat berdasarkan KUHP baru, yang berlaku mulai 2 Januari 2026," kata Taqwaddin di Bireuen, Aceh, Selasa.
Pernyataan tersebut disampaikan Taqwaddin pada rapat koordinasi dan evaluasi peradilan adat gampong. Rapat dihadiri 40 peserta terdiri dari pimpinan MAA Kabupaten Bireuen, para imum mukim, keuchik, dan tokoh perempuan.
Taqwaddin yang juga hakim ad hoc Pengadilan Tinggi Banda Aceh itu menyebutkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru telah diakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum adat, termasuk hukum pidana adat.
Baca juga: MAA Nagan Raya menggelar sosialisasi adat Aceh bagi masyarakat
Selama ini, digunakan KUHP lama produk kolonial dengan semangat masa lalu, di mana hukuman pidana dipahami sebagai proses penjeraan dan balas dendam. Dalam KUHP lama tidak diakui keberadaan hukum adat, katanya.
Sedangkan dalam KUHP 2026, semangat penyelesaian perkara pidana sesuai dengan paradigma restorative justice yaitu perdamaian untuk pemulihan dan keharmonisan hidup dalam masyarakat.
"Jika cermati Pasal 2, Pasal 12, Pasal 66, dan Pasal 597 KUHP Nasional, maka jelas tersurat dalam ketentuan-ketentuan tersebut bahwa KUHP Nasional 2026 ini mengakui hukum pidana adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat," kata Taqwaddin.
Oleh karena itu, kata dia, untuk memudahkan implementasi ketentuan-ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat terkait pidana adat, Majelis Adat Aceh dapat mengambil inisiatif mengusulkan kepada DPRA atau melalui Pemerintah Aceh untuk melahirkan qanun pidana adat.
"Menurut saya, langkah ini penting dimulai dari sekarang agar saat implementasi KUHP Nasional 2026, materi pidana adat gampong diatur dalam qanun, sehingga memudahkan proses penegakan hukum," katanya.
Taqwaddin mencontohkan hukum adat seperti larangan melaut bagi nelayan pada hari Jumat. Selama ini, larang tersebut berjalan, tetapi belum diatur secara tertulis apa dan bagaimana sanksinya.
Selain itu, Taqwaddin juga menyarankan MAA melakukan pelatihan peradilan adat gampong kepada semua aparatur desa, sehingga dalam menyelesaikan berlaku adil bagi para pihak.
"Dalam UUPA atau undang-undang pemerintahan Aceh diatur peran keuchik dan imum mukim sebagai hakim peradilan adat," kata Taqwaddin.
Baca juga: Hakim banding kuatkan putusan perkara korupsi pengadaan buku MAA
Pewarta: M.Haris Setiady AgusEditor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025