Banda Aceh (ANTARA) - Kejaksaan Negeri Bireuen, Provinsi Aceh, menyatakan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) menyetujui penyelesaian kasus penganiayaan kepala desa oleh warga berdasarkan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ).
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bireuen Munawal Hadi di Banda Aceh, Senin, mengatakan Jampidum menyetujui penyelesaian perkara penganiayaan tersebut setelah para pihak berdamai. Proses perdamaian berlangsung di Kantor Kejaksaan Negeri Bireuen.
"Perkara penganiayaan tersebut dengan tersangka berinisial J. Perkara penganiayaan tersebut diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif setelah korban dengan tersangka berdamai. Tersangka juga berjanji tidak mengulangi perbuatannya," katanya.
Baca juga: Jampidum setujui penyelesaian kasus penganiayaan berdasarkan RJ
Sebelumnya, kata dia, pihaknya menggelar ekspose penyelesaian perkara penganiayaan berdasarkan keadilan restoratif dengan tersangka DF secara virtual.
Ekspose dilakukan bersama Direktur Orang dan Harta Benda (Orharda) Jampidum Kejaksaan Agung Nanang Ibrahim serta Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Yudi Triadi.
"Berdasarkan ekspose tersebut, Jampidum menyetujui penyelesaian perkara penganiayaan dengan tersangka J. Dengan adanya persetujuan tersebut, maka Kejari Bireuen sudah menyelesaikan tiga perkara berdasarkan keadilan restoratif pada 2025," katanya.
Munawal Hadi menyebutkan penganiayaan dilakukan J terjadi di sebuah rumah di Desa Seuneubok Aceh, Kecamatan Peulimbang, Kabupaten Bireuen, pada 29 April 2025. Korban merupakan keuchik atau kepala desa setempat.
Pada saat itu, kata Munawal Hadi, J meminta korban datang ke rumahnya untuk. Korban diminta datang untuk menyelesaikan permasalahan J dengan kakak korban.
Sesampainya korban di rumah J, keduanya terlibat cekcok mulut. J sempat beranggapan ingin menyerangnya secara fisik. Namun, malah rahang kiri korban. Akibatnya, korban terjatuh dan mengalami lembam di bawah telinga kirinya.
"Perbuatan J melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Ancaman hukumannya paling lama dua tahun delapan bulan penjara. Dengan adanya persetujuan tersebut, maka penyelesaian perkara tidak dilanjutkan ke pengadilan," kata Munawal Hadi menyebutkan.
Kajari Bireuen menyebutkan penyelesaian perkara berdasarkan restoratif merupakan tindak lanjut program Jaksa Agung. Di mana penyelesaian sebuah perkara tidak harus melalui proses peradilan atau persidangan di pengadilan.
Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara adalah upaya terakhir. Jadi, apa bila ada persoalan hukum diupayakan diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif dan tidak harus ke pengadilan, kata Munawal Hadi.
Akan tetapi, kata dia, ada syarat penyelesaian perkara hukum berdasarkan keadilan restoratif. Di antaranya, para pihak, baik korban maupun pelaku sudah berdamai. Pelaku berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban juga tidak lagi menuntut.
Persyaratan lainnya, pelaku baru pertama melakukan tindak pidana, bukan residivis atau orang yang pernah menjalani pidana. Serta ancaman pidananya kurang dari lima tahun.
"Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh, di mana penyelesaian sebuah perkara dimusyawarahkan kedua pihak yang disaksikan tokoh masyarakat," kata Munawal Hadi.
Baca juga: Kejari Bireuen damaikan tiga tersangka penganiayaan
Pewarta: M.Haris Setiady AgusEditor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025