Blangpidie (ANTARA) - Di suatu pagi yang masih diselimuti embun, langkah-langkah petani terdengar menyusuri pematang sawah. Udara dingin bercampur dengan aroma tanah basah, menjadi pertanda hari baru telah dimulai.
Warung kopi kecil di pinggir desa mulai dipenuhi petani yang baru selesai sholat subuh. Secangkir kopi hitam panas mereka nikmati sambil bertukar cerita.
"Dulu, setelah sholat subuh, kami berkumpul di warung kecil sebelum turun ke sawah. Itu bukan sekadar minum kopi, tapi bagian dari kebersamaan kami sebagai petani," kenang Kamaruddin, seorang petani senior di Kecamatan Tangan-Tangan, Kabupaten Aceh Barat Daya.
Saat fajar mulai menyingsing, para petani beranjak menuju sawah. Mereka menggiring kerbau, mengayunkan jangkul, dan saling membantu dalam mengolah tanah. Proses ini bukan sekadar pekerjaan, tapi tradisi yang diwariskan turun-temurun tentang cara bertani yang melibatkan interaksi sosial dan solidaritas komunitas.
"Kami mulai bekerja sejak fajar, membajak tanah dengan kerbau. Setiap sudut sawah penuh dengan aktivitas. Ada yang mencangkul, ada yang menggiring kerbau, dan semuanya dilakukan bersama-sama." tuturnya menambahkan.
Baca juga: Petani Abdya garap 50 persen sawah untuk musim tanam gadu 2025
Sawah dulu adalah ruang kehidupan, tempat di mana petani tidak hanya bekerja tetapi juga berbagi cerita dan membangun kebersamaan. Gotong royong, atau dalam bahasa Aceh disebut "musaraya" menjadi bagian dari keseharian mereka. Tidak ada yang benar-benar sendiri dalam bertani, karena semua saling membantu tanpa pamrih.
Namun, perubahan mulai datang.Kemajuan teknologi menghadirkan alat dan mesin pertanian (Alisntan) yang lebih cepat dan efisien. Tak lagi diperlukan tenaga hewan, tak lagi dibutuhkan genggaman kuat tangan manusia.
Alsintan menggantikan semuanya. Sawah yang dulu penuh dengan suara obrolan petani dan aba-aba menggiring kerbau kini hanya dipenuhi deru mesin.
"Kalau dulu, kami bekerja berbulan-bulan sebelum sawah siap tanam. Sekarang, dengan alsintan, semua bisa selesai dalam waktu singkat. Tapi anehnya, anak-anak sekarang malah semakin menjauh dari dunia pertanian,"ujar Hasan, petani lain yang merasakan perubahan besar ini.
Memang benar, teknologi memberikan kemudahan luar biasa. Sawah yang dahulu mengandalkan tenaga manusia kini bisa diolah lebih cepat. Namun, ada sesuatu yang hilang. Semangat kebersamaan, nilai sosial, dan interaksi yang dulu begitu kuat dalam komunitas petani.
Tak hanya kehidupan petani yang berubah, tetapi juga lanskap desa. Gunung-gunung yang dulunya kosong kini dipenuhi kebun produktif. Tanah yang dahulu ditumbuhi alang-alang kini menjadi lahan pertanian modern.
Padang rumput yang dulu menjadi tempat anak-anak bermain dan menggiring kerbau kini telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
"Dulu, setelah selesai membajak sawah, anak-anak menggembala kerbau di padang rumput sambil bermain. Sekarang, mereka lebih sering duduk di rumah, sibuk dengan hanphone," keluh petani tersebut
Makan Bersama di Pematang Sawah
Dulu, ketika jarum jam menunjukkan pukul 8 pagi, suasana sawah semakin hidup. Bukan hanya karena petani yang masih sibuk mencangkul atau mengatur jalur bajakan, tetapi karena momen spesial yang selalu dinanti waktu makan bersama di pematang sawah.
Istri atau anak perempuan datang membawa rantang nasi, berisi lauk sederhana tetapi penuh kehangatan. Duduk beramai-ramai di pematang sawah mereka menikmati makanan bersama di bawah langit terbuka, dengan semilir angin yang menyejukkan dan aroma tanah basah yang menyatu dalam suasana.
"Saat itu, nasi yang dimakan terasa lebih nikmat. Makan di sawah, di antara suara alam, memberikan kebersamaan yang sekarang sulit ditemukan. Kami berbagi makanan, berbagi cerita, dan menikmati momen sebelum kembali bekerja," tuturnya.

Makan bersama bukan hanya soal mengisi perut, tetapi juga bagian dari kehidupan sosial petani. Saling bercanda, berbagi kisah tentang panen atau sekadar membahas hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari membuat momen ini terasa istimewa.
Namun, seiring perubahan zaman, tradisi ini semakin langka. Mesin-mesin pertanian telah menggantikan tenaga manusia, pekerjaan semakin cepat selesai, dan kebersamaan semakin berkurang. Sawah tidak lagi menjadi tempat berkumpul, tetapi hanya sebagai ladang produksi.
"Sekarang, tidak ada lagi rantang nasi, tidak ada lagi duduk bersama di pematang sawah seperti dulu. Anak-anak lebih sibuk dengan handphone, dan petani lebih banyak bekerja sendiri tanpa interaksi seperti dahulu," ujar petani itu dengan nada penuh kerinduan.
Apakah tradisi ini benar-benar hilang? Tidak harus. Mungkin kita bisa menghidupkan kembali kebersamaan ini dengan sesekali mengadakan kegiatan bertani bersama atau melibatkan keluarga dalam proses bertani seperti dulu. Karena sawah bukan hanya tentang hasil panen, tetapi juga tentang kehidupan dan kebersamaan yang memberikan makna lebih dalam.
Baca juga: Petani Abdya Serentak Tanam Padi Dukung Swasembada Pangan
Menjaga Tradisi di Tengah Kemajuan
Apakah kita benar-benar harus memilih antara kemajuan dan tradisi? Tidak selalu. Ada banyak cara agar teknologi dapat berdampingan dengan nilai-nilai lama tanpa harus menghapus sepenuhnya.
Solusinya bisa dimulai dengan langkah-langkah kecil seperti mengadakan kegiatan bertani bersama untuk memperkuat nilai kebersamaan di desa.
Kemudian mengenalkan tradisi bertani kepada generasi muda agar mereka memahami akar budaya mereka. Dan memanfaatkan teknologi dengan bijak tanpa melupakan nilai sosial yang menjadi bagian dari kehidupan petani.
Selanjutnya menciptakan ruang edukasi tentang sejarah pertanian sehingga anak-anak tidak hanya melihat sawah sebagai mesin produksi, tetapi sebagai bagian dari budaya mereka.
Sawah tetap menumbuhkan padi, tetap menjadi sumber penghidupan. Tapi tanpa suara manusia, tanpa interaksi sosial, ia kehilangan sebagian maknanya.
"Kemajuan bukanlah musuh tradisi. Ia hanya membutuhkan keseimbangan agar kita tidak kehilangan akar budaya kita. Mungkin bukan soal memilih antara masa lalu dan masa depan, tetapi bagaimana kita merajut keduanya agar tetap sejalan," tutup Hasan.
Baca juga: Dinas PUPR bersihkan jalan tertimbun tanah longsor di Abdya
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025