Banda Aceh (ANTARA) - Sebanyak 18 nelayan dari dua kapal asal Aceh Timur ditangkap otoritas maritim Thailand di kawasan perbatasan laut antara Aceh dan Thailand, mereka diduga melanggar batas wilayah dan aktivitas penangkapan ikan ilegal (illegal fishing).

"Kami mendapat laporan dari anggota DPRK Aceh Timur terkait hilangnya dua kapal nelayan. Setelah kami telusuri dan berkomunikasi dengan KRI Songkhla di Thailand, ternyata benar bahwa kapal dan seluruh awaknya telah ditangkap," kata Anggota DPD RI asal Aceh Sudirman Haji Uma, di Banda Aceh, Rabu.

Penangkapan ini diketahui terjadi pada Senin (19/5). Adapun dua kapal yang dimaksud adalah KM Jasa Cahaya Ikhlas yang dinahkodai Umar Johan dengan membawa 12 nelayan, dan KM New Rever, dinakhodai Ridwan dengan enam ABK. 

Baca juga: DKP: Tujuh nelayan Aceh yang dibebaskan Myanmar sudah bersama keluarga

Ke 18 nelayan Aceh Timur tersebut saat ini berada dalam pengawasan otoritas Thailand. Sedangkan kapal mereka diamankan tim patroli laut Thailand dan dibawa ke wilayah Phuket.

Haji Uma mengatakan, kepastian informasi nelayan Aceh ditangkap setelah ia menghubungi perwakilan Konsulat Republik Indonesia (KRI) di Songkhla, dan menerima konfirmasi dari seorang staf bernama Jesica bahwa proses verifikasi terhadap para nelayan Aceh tersebut sedang berlangsung. 

Tim dari KRI Songkla sudah bergerak ke lapangan untuk memastikan kondisi para nelayan dan mempersiapkan upaya pendampingan hukum diperlukan.

"Tuduhan sementara terhadap para nelayan kita adalah memasuki wilayah perairan Thailand secara ilegal dan melakukan penangkapan ikan tanpa izin," ujarnya 

Sebagai tindak lanjut, kata Haji Uma, dirinya juga telah menginstruksikan tim  di Aceh Timur untuk melakukan pendataan lengkap terhadap seluruh nelayan yang ditangkap, termasuk riwayat pelayaran, alamat rumah, serta berkoordinasi dengan pihak terkait. Langkah ini penting untuk memudahkan proses pendampingan hukum ke depan. 

Dirinya meminta KRI Songkhla dapat mengawal secara ketat jalannya proses hukum dan memastikan para nelayan Aceh mendapatkan hak-haknya selama berada dalam penahanan.

"Proses hukum yang berlaku di Thailand harus kita hormati. Namun bila dalam proses tersebut terdapat kekeliruan atau pelanggaran prosedur, kita akan menempuh jalur hukum untuk membela para nelayan melalui dukungan dari KBRI,” katanya.

Baca juga: Ratusan kapal penangkap ikan di Aceh Timur tidak melaut

Dirinya mengaku sangat prihatin atas peristiwa yang terus berulang ini. Hal itu terjadi juga karena nelayan tradisional Aceh belum memiliki pemahaman dan peralatan navigasi memadai, sehingga tidak menyadari sudah melewati batas wilayah.

“Ini bukan kejadian pertama. Saya selalu mengingatkan agar nelayan kita lebih berhati-hati dan memperhatikan batas wilayah laut. Namun, kesalahan seperti ini masih terjadi," ujarnya.

Dalam kesempatan ini, dirinya menekankan pentingnya edukasi dan pendampingan kepada nelayan, terutama yang beroperasi di wilayah perbatasan laut. Pemerintah Pusat dan daerah diharapkan lebih serius memberikan perlindungan hukum, pelatihan navigasi, serta bantuan alat pelacak posisi kapal bagi nelayan kecil.

“Nelayan adalah kelompok rentan yang perlu dilindungi. Saat mereka berada di perairan asing, negara harus hadir. Kita akan terus kawal kasus ini sampai ada kejelasan dan keadilan bagi para nelayan Aceh,” demikian Haji Uma.


Baca juga: Nelayan Lhokseumawe ditangkap karena operasikan sumur minyak ilegal



Pewarta: Rahmat Fajri
Editor : M.Haris Setiady Agus
COPYRIGHT © ANTARA 2025