Banda Aceh (ANTARA Aceh) - Komisi-I DPR Aceh memediasi penyelesaian sengketa tanah antara perusahaan sawit dengan masyarakat di Kabupaten Aceh Tamiang.
Mediasi berlangsung di ruang serba guna DPRA di Banda Aceh, Selasa, yang dipimpin Ketua Komisi-I DPRA Abdullah Saleh serta dihadiri sejumlah anggota komisi tersebut.
Turut hadir dalam mediasi tersebut Ketua DPRK Aceh Tamiang Usman, Asisten I Setda Aceh Tamiang Helmi, masyarakat, unsur kepolisian, serta utusan PT Rapala, perusahaan sawit yang dilaporkan bersengketa dengan masyarakat dan perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh.
"Ada sekitar 144 hektare lahan yang disengketakan. Kami mediasi agar sengketa ini selesai dan tidak ada dirugikan, baik perusahaan maupun masyarakat," kata Abdullah Saleh.
Lahan yang disengketakan tersebut berlokasi di Desa Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang. Sengketa ini sudah berlangsung sejak tahun 1980-an.
Menurut Abdullah Saleh, Komisi I DPRA sudah meninjau ke lapangan dan bertemu dengan masyarakat. Banyak masukan yang disampaikan masyarakat terkait sengketa tanah tersebut.
"Dengan mediasi ini, kami ingin mendengarkan masukan para pihak, sejauh mana proses penyelesaian sengketa lahan seluas 144 hektare," kata Abdullah Saleh.
Ketua DPRK Aceh Tamiang Usman mengatakan, sengketa lahan ini sudah berlangsung lama. Sengketa ini terjadi karena perusahaan sawit menyerobot atau mengambil alih secara paksa tanah masyarakat.
"Sengketa lahan ini sudah berlangsung sejak lahan tersebut dikuasai PT Parasawita. Kini lahan itu diambil alih oleh PT Rapala. Masyarakat menuntut tanah seluas 144 hektare dikembalikan kepada masyarakat," kata dia.
Bupati Aceh Tamiang, sebut Usman, pernah menyurari Kepala BPN Pusat agar mengeluarkan lahan seluas 144 hektare tersebut dari hak guna usaha (HGU) PT Rapala. Sebab, tanah itu milik masyarakat.
"Namun, permintaan itu ditolak. Inilah yang kami sesalkan. Penolakan ini menunjukkan tidak ada sinkronisasi pengurusan HGU antara BPN dengan pemerintah daerah. Buktinya, mengapa Bupati meminta 144 hektare lahan itu dikeluarkan dari penguasaan perusahaan sawit tersebut," kata dia.
Sementara itu, Areal Manajer PT Rapala Widodo L Ahmad mengatakan, sebenarnya tidak ada masalah antara PT Rapala dengan masyarakat. Yang jadi masalah, ketika PT Rapala mengakuisisi HGU PT Parasawita.
"Awalnya, kami mendapat informasi lahan seluas 144 hektare belum diganti rugi oleh PT Parasawita. Namun, informasi itu tidak benar," kata dia.
Berdasarkan dokumen yang diterima PT Rapala, kata dia, ganti rugi lahan seluas 144 hektare itu sudah dibayar dua kali. Pertama pada 1980 dan kedua pada tahun 1999.
"Jadi, lahan seluas 144 hektare tersebut tidak ada masalah sejak sejak 1999. Masalah sudah diselesaikan oleh PT Parasawita sebelum PT Rapala mengambil alih HGU perusahaan itu," kata Widodo L Ahmad.
Mediasi berlangsung di ruang serba guna DPRA di Banda Aceh, Selasa, yang dipimpin Ketua Komisi-I DPRA Abdullah Saleh serta dihadiri sejumlah anggota komisi tersebut.
Turut hadir dalam mediasi tersebut Ketua DPRK Aceh Tamiang Usman, Asisten I Setda Aceh Tamiang Helmi, masyarakat, unsur kepolisian, serta utusan PT Rapala, perusahaan sawit yang dilaporkan bersengketa dengan masyarakat dan perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh.
"Ada sekitar 144 hektare lahan yang disengketakan. Kami mediasi agar sengketa ini selesai dan tidak ada dirugikan, baik perusahaan maupun masyarakat," kata Abdullah Saleh.
Lahan yang disengketakan tersebut berlokasi di Desa Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang. Sengketa ini sudah berlangsung sejak tahun 1980-an.
Menurut Abdullah Saleh, Komisi I DPRA sudah meninjau ke lapangan dan bertemu dengan masyarakat. Banyak masukan yang disampaikan masyarakat terkait sengketa tanah tersebut.
"Dengan mediasi ini, kami ingin mendengarkan masukan para pihak, sejauh mana proses penyelesaian sengketa lahan seluas 144 hektare," kata Abdullah Saleh.
Ketua DPRK Aceh Tamiang Usman mengatakan, sengketa lahan ini sudah berlangsung lama. Sengketa ini terjadi karena perusahaan sawit menyerobot atau mengambil alih secara paksa tanah masyarakat.
"Sengketa lahan ini sudah berlangsung sejak lahan tersebut dikuasai PT Parasawita. Kini lahan itu diambil alih oleh PT Rapala. Masyarakat menuntut tanah seluas 144 hektare dikembalikan kepada masyarakat," kata dia.
Bupati Aceh Tamiang, sebut Usman, pernah menyurari Kepala BPN Pusat agar mengeluarkan lahan seluas 144 hektare tersebut dari hak guna usaha (HGU) PT Rapala. Sebab, tanah itu milik masyarakat.
"Namun, permintaan itu ditolak. Inilah yang kami sesalkan. Penolakan ini menunjukkan tidak ada sinkronisasi pengurusan HGU antara BPN dengan pemerintah daerah. Buktinya, mengapa Bupati meminta 144 hektare lahan itu dikeluarkan dari penguasaan perusahaan sawit tersebut," kata dia.
Sementara itu, Areal Manajer PT Rapala Widodo L Ahmad mengatakan, sebenarnya tidak ada masalah antara PT Rapala dengan masyarakat. Yang jadi masalah, ketika PT Rapala mengakuisisi HGU PT Parasawita.
"Awalnya, kami mendapat informasi lahan seluas 144 hektare belum diganti rugi oleh PT Parasawita. Namun, informasi itu tidak benar," kata dia.
Berdasarkan dokumen yang diterima PT Rapala, kata dia, ganti rugi lahan seluas 144 hektare itu sudah dibayar dua kali. Pertama pada 1980 dan kedua pada tahun 1999.
"Jadi, lahan seluas 144 hektare tersebut tidak ada masalah sejak sejak 1999. Masalah sudah diselesaikan oleh PT Parasawita sebelum PT Rapala mengambil alih HGU perusahaan itu," kata Widodo L Ahmad.
Pewarta: Pewarta : M Haris SAUploader : Salahuddin Wahid
COPYRIGHT © ANTARA 2025