Percepatan digitalisasi ini mendorong sektor keuangan dan asuransi untuk beradaptasi dengan cepat, tak hanya dalam hal teknologi, namun juga tata kelola dan kepatuhan regulasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menekankan pentingnya transformasi menyeluruh melalui regulasi seperti POJK 11/2023 dan POJK 23/2023.
“OJK menargetkan implementasi penuh POJK 11/2023 pada 2026 untuk sektor asuransi, termasuk syariah. Harapannya, industri akan mengalami pertumbuhan yang lebih sehat dengan tata kelola yang kuat,” ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara, dalam forum Ijtima Sanawi 2025 di Jakarta.
Transformasi digital tidak hanya berfokus pada efisiensi, tetapi juga memperkuat akuntabilitas di tengah rendahnya tingkat kepercayaan publik. Penggunaan big data dan kecerdasan buatan (AI) memainkan peran krusial dalam proses klaim asuransi dan deteksi penipuan.
AI Turunkan Waktu Klaim hingga 24 Jam
Penerapan teknologi AI memungkinkan perusahaan asuransi mempercepat waktu penyelesaian klaim dari rata-rata tujuh hari menjadi kurang dari 24 jam. Beberapa perusahaan mencatat tingkat akurasi deteksi fraud mencapai lebih dari 90%, dengan seluruh proses terdokumentasi secara digital.
Di sisi lain, analisis big data digunakan untuk merancang produk asuransi berbasis perilaku, seperti usage-based insurance yang menyesuaikan premi dengan gaya hidup dan aktivitas pengguna. Pendekatan ini dinilai lebih adil dan efisien, serta membantu menekan potensi fraud yang menurut data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencapai sekitar 10% dari total klaim tahunan.
Industri asuransi umum mencatatkan premi sebesar Rp112,9 triliun pada triwulan IV 2024, tumbuh 8,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski demikian, tantangan terkait kualitas klaim dan fraud tetap menjadi perhatian utama.
Penetrasi Asuransi Masih Rendah, Potensi Besar
Meski transformasi digital terus berlangsung, penetrasi asuransi di Indonesia masih tergolong rendah. Berdasarkan data OJK, penetrasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berada pada level 2,80% per September 2024, kemudian turun menjadi 2,72% per Februari 2025. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara ASEAN seperti Malaysia (4,8%) dan Singapura (11,4%).
OJK menilai pentingnya inovasi produk yang lebih inklusif dan personal. Produk jangka pendek, asuransi perjalanan berbasis durasi, serta asuransi digital untuk pengguna aktif layanan online menjadi solusi untuk memperluas jangkauan pasar.
Belajar dari Transformasi Sektor Lain
Transformasi digital di sektor lain seperti transportasi dan e-commerce memberikan pelajaran berharga. Dalam laporan e-Conomy SEA 2024, video commerce menyumbang 20% dari total GMV e-commerce, naik dari kurang dari 5% pada 2022. Transportasi dan layanan pengantaran tercatat mencapai GMV sekitar US$9 miliar dengan pertumbuhan 13% YoY.
Sektor perbankan juga menunjukkan keberhasilan adaptasi lewat super app dan layanan keuangan terintegrasi.
Transformasi Jadi Ukuran Kesehatan Korporasi
Transformasi digital bukan sekadar strategi adaptasi, tetapi kini menjadi indikator utama kesehatan korporasi. Perusahaan dituntut untuk menggabungkan teknologi, akuntabilitas, dan pemahaman mendalam terhadap konsumen demi menjaga kepercayaan publik.
“Yang bertahan bukan yang paling besar atau paling canggih, melainkan yang paling akuntabel, adaptif, dan dipercaya,” demikian disampaikan dalam laporan tersebut.
Dengan ruang pertumbuhan yang masih besar, industri keuangan dan asuransi Indonesia dihadapkan pada pilihan tegas: bertransformasi secara menyeluruh, atau tertinggal di era digital.
Pewarta : PR Wire
Editor: PR Wire
COPYRIGHT © ANTARA 2025