Banda Aceh (ANTARA) - Komandan Korem 011/Lilawangsa, Kolonel Inf Ali Imran menegaskan tidak ada tempat atau ruang bagi kelompok radikalisme serta separatisme di tanah air, termasuk di Provinsi Aceh.

"Keduanya, bisa menjadi ancaman serius bagi keutuhan negara," kata Kolonel Inf Ali Imran dalam keterangannya, di Banda Aceh, Kamis.

Pernyataan itu disampaikan Kolonel Inf Ali Imran kepada para pelajar SMA sederajat dan para guru di Lhokseumawe dalam kegiatan komsos, di Gedung Jenderal Ahmad Yani Korem 011/Lilawangsa, Lhokseumawe, Aceh.

Kegiatan tersebut dalam rangka pembinaan komunikasi sosial yang adaptif dan sinergitas sebagai upaya mencegah tangkal radikalisme dan separatisme, serta untuk memperkokoh persatuan kesatuan bangsa.

Danrem yang juga putra asli Aceh itu menegaskan, pemerintah melarang keras penggunaan bendera atau simbol separatis, termasuk di Aceh.

“Kenapa dilarang berkibar, dan tidak bisa jadi bendera itu, ada Undang-undangnya. Sekarang siapa saja yang melanggar, perintah Kapolri harus ditangkap, apapun alasannya. di Indonesia, yang boleh berkibar itu hanya satu bendera yaitu merah putih,” ujarnya.

TNI saja, kata dia, juga mempunyai lambang satuan, dan itu saat pembuatannya harus dilakukan pengajuan terlebih dulu ke pusat.

"Setelah disahkan, baru dapat dipergunakan pada acara tertentu. Termasuk bendera partai politik," katanya.

Maka dari itu, dirinya mengajak semua pihak merenungkan kembali betapa pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Karena, ancaman radikalisme dan separatisme merupakan tantangan serius yang dapat memecah belah.

“Upaya penangkalan kita lakukan bersama sejak dini. TNI, khususnya Korem 011/Lilawangsa berkomitmen penuh dalam menjaga keutuhan NKRI. Namun tugas ini membutuhkan sinergi dan kolaborasi yang kuat dengan seluruh masyarakat,” tegas Danrem.

Disisi lain, Kolonel Ali Imran juga turut menyinggung maraknya kasus bullying atau perundungan yang masih menghantui lingkungan pendidikan.

Menurutnya, perundungan di sekolah itu cerminan dari dua hal, yaitu karena kegagalan sistem pendidikan dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif.

Kemudian, rendahnya literasi emosional di kalangan siswa tidak disiapkan secara sistematis oleh lembaga pendidik. 

"Kedua faktor ini saling terkait dan tak bisa teratasi secara parsial," ujarnya.

Dirinya menuturkan, secara kasat mata ejekan atau olokan seperti guyonan biasa saja bagi anak-anak. Tetapi, juga bisa sebaliknya yang menimbulkan dampak serius jika kasus perundungan ditutupi demi menjaga citra institusi. 

“Akibatnya, banyak korban yang akhirnya memilih diam, menderita dalam sunyi, bahkan sayangnya, berdampak berhenti sekolah karena merasa tak berdaya,” demikian Kolonel Inf Ali Imran.
 



Pewarta: Rahmat Fajri
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025