Banda Aceh (ANTARA) - Rumah Produksi UMKM Coklat Sabang (Cokbang) memproduksi sebanyak 1,8 ton coklat per tahun, dengan target pasarnya adalah para pelancong baik domestik maupun mancanegara yang berwisata ke daerah titik 0 kilometer Indonesia itu.
"Kalau untuk produksi coklat kita sejauh ini sudah mencapai 1,7 ton sampai 1,8 ton per tahun," kata Manager Produksi Coklat Sabang, Melan Meta Diansyah, di Sabang, Selasa.
Melan menyampaikan coklat Sabang merupakan produksi khas dengan memanfaatkan hasil kakao daerah yang memiliki karakteristik tersendiri, dan dibeli langsung dari para petani setempat seharga Rp70 ribu per kilogram dengan kualitas bagus (harga pasar Rp30 ribu per kg).
Menurutnya, kakao Sabang memiliki karakteristik unik karena tumbuh di tanah vulkanik dan dikelilingi laut. Sehingga, cita rasanya lebih lembut, tidak terlalu pahit, dan memiliki kadar lemak yang tinggi.
“Kalau untuk kadar lemak kakao Sabang ini, setelah diuji lab (oleh Disperindag Aceh) mencapai 52,15 persen, lebih tinggi dibandingkan rata-rata kakao daerah lain yang hanya sekitar 30–40 persen. Rasa yang muncul lebih fruity dan tidak pahit,” ujarnya.
Hingga hari ini, kata Melan, Cokbang memproduksi 14 jenis produk olahan, terdiri atas tiga varian bubuk coklat, satu teh kakao, tujuh coklat kompon, dan tiga coklat premium. Untuk harga jualnya variatif, mulai dari Rp20 ribu hingga Rp150 ribu per pcs.
Salah satu produk unggulan Cokbang ini sendiri adalah coklat premium 80 persen yang menggunakan gula aren sebagai pemanis alami. Selain itu, mereka juga memanfaatkan kulit biji kakao untuk diolah menjadi teh kakao berbentuk sachet.
Ia menyampaikan, dalam pengembangan usahanya, Cokbang melibatkan petani kakao lokal melalui pembentukan koperasi. Para petani kini menjadi pemasok utama bahan baku dengan sistem pembelian di atas harga pasar.
Baca: Tim Riset Kita Kreatif USK dampingi pengembangan Desa Wisata Aneuk Laot dan Jaboi di Kota Sabang
Saat ini, lanjut dia, dari total produksi 1,8 ton, Cokbang telah mencatat omzet antara Rp300 juta hingga Rp360 juta per tahun. Diharapkan, produk lokal tersebut bisa menjadi ikon baru dari ujung barat Indonesia.
Melan menuturkan, produk Cokbang mereka ini hanya tersedia di Sabang, dan tidak diperjualbelikan keluar daerah, langkah ini dilakukan sebagai upaya menjaga identitas daerah, sehingga bisa menjadi oleh-oleh khas.
"Jadi, kalau mau Cokbang ini tidak didapatkan di luar di Sabang, karena usaha kita ini juga menjadi salah satu oleh-oleh khas Sabang," katanya.
Ia menegaskan, karena tidak dipasarkan di luar Sabang, maka pasar untuk industri mereka ini hanya diperuntukkan bagi wisatawan yang berwisata ke sana, baik domestik maupun wisatawan asing, serta masyarakat lokal.
"Jadi, segmentasi pasar kita masih ini adalah pariwisata, untuk turis atau wisatawan yang ke Sabang. Atau bisa memesan langsung untuk dikirimkan," tegasnya.
Di sisi lain, tambah Melan, Cokbang sendiri juga sempat mendapatkan tawaran ekspor dari pembeli asal Jerman untuk pengiriman 50 kilogram coklat fermentasi, tetapi rencana itu tertunda karena kendala administrasi ekspor.
“Waktu itu gagal karena belum paham prosedur Bea Cukai sehingga batal kita ekspor. Sekarang kami sudah mulai belajar, dan sudah siap jika ada permintaan lagi,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Melan juga menyampaikan bahwa mereka ingin mengembangkan usaha ini dengan pembuatan cafe. Sehingga, wisatawan bisa langsung menikmatinya di rumah produksi. Serta, pengembangan sektor agro wisata.
"Kedepannya kita punya rencana mengembangkan agro wisatanya. Jadi nanti dari traveler dibawa ke kebun coklat. Di kebun mereka lihat buah, pemangkasan, pembelahan biji, penjemuran dan fermentasi. Lalu dibawa ke rumah produksi untuk industrinya," demikian Melan Meta Diansyah.
Baca: Investor Malaysia ingin bangun hub industri kapal di Sabang
Pewarta: Rahmat FajriEditor : M.Haris Setiady Agus
COPYRIGHT © ANTARA 2025