Banda Aceh (ANTARA) - Kepala Badan Strategi Kebijakan (BSK) Hukum Kementerian Hukum Andry Indrady membuka diskusi strategi kebijakan (DSK) secara virtual.
Diskusi tersebut diikuti jajaran Kemenkum Aceh di Banda Aceh, Senin.
Forum diskusi membahas implementasi Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 4 Tahun 2021 tentang standar layanan bantuan hukum.
Dalam sambutannya, Andry menegaskan peran BSK Hukum sangat penting dalam merumuskan dan memberikan rekomendasi strategi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).
"Kebijakan yang baik tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari dialog, kritik, dan pengalaman nyata," ujar Andry.
Ia menjelaskan, BSK Hukum bekerja sama dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum di daerah untuk menganalisis implementasi hingga evaluasi kebijakan.
"Hasil analisis itu kemudian dibahas dalam forum diskusi agar masyarakat dan pemangku kepentingan bisa ikut terlibat," katanya
Dari hasil analisis yang telah disusun oleh Tim AIEK Kantor Wilayah Kemenkum Aceh dapat dikelompokkan adanya dua permasalahan utama dari sisi manajerial dan sisi substansi.
Dari sisi manajerial, perhatian terletak pada keterbatasan anggaran, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
"Faktor minimnya anggaran, sarpras, dan SDM dalam pemberian batuan hukum perlu menjadi perhatian. Kami yakin Pusat Pembudayaan dan Bantuan Hukum BPHN selaku pemangku tusi sudah mencatat dan menyusun langkah ke depannya," tegas Andry.
Baca: Pergub tenaga profesional Baitul Mal Aceh diharmonisasi, ini catatan Kemenkum Aceh
Ia menambahkan bahwa pimpinan tinggi pratama di wilayah pun diharapkan dapat melakukan langkah strategis dan melakukan koordinasi kolaborasi dengan biro hukum atau bagian hukum kabupaten kota untuk mengurangi kendala manajerial yang ada.
Dari sisi substansi, permasalahan yang muncul relatif mirip dengan daerah lain.
"Hal yang perlu digarisbawahi adalah perlunya kebijakan yang kontekstual, bukan kebijakan seragam yang berlaku untuk semua daerah," jelas Andry.
Menurutnya, diskusi di Aceh menjadi momentum penting karena wilayah tersebut memiliki kekhususan, keistimewaan, dan karakter sosial budaya yang khas, sehingga diperlukan kebijakan yang asimetris.
Selanjutnya, Andry menggarisbawahi hasil analisis pada sisi penerima bantuan hukum di mana sekitar 80 persen adalah laki-laki. Hal ini perlu ditelaah apa yang menyebabkan perempuan belum memiliki akses yang memadai terhadap bantuan hukum.
"Pada prinsipnya kebijakan pemberian bantuan hukum ini harus tepat sasaran khususnya menyasar pada masyarakat miskin dan kelompok rentan," jelasnya.
Tingkat keberhasilan bantuan hukum juga menjadi perhatian untuk dapat diukur dari persentase penyelesaian kasus hukum yang tidak sampai ke pengadilan.
"Fokusnya adalah penyelesaian kasus secara nonlitigasi, sehingga masyarakat memperoleh peningkatan literasi hukum, khususnya dalam bidang bantuan hukum," ungkapnya.
Andry menekankan agar forum ini berjalan terbuka dan jujur. Ia mengingatkan bahwa rekomendasi yang dihasilkan tidak hanya ideal di atas kertas, tetapi juga bisa diterapkan nyata.
"Mari kita jadikan Aceh sebagai titik tolak memperkuat ekosistem bantuan hukum yang responsif dan berkelanjutan," pungkas Andry Indrady.
Baca: Kemenkum Aceh gelar diskusi strategi kebijakan bahas layanan bantuan hukum
Pewarta: RedaksiEditor : M.Haris Setiady Agus
COPYRIGHT © ANTARA 2025