Blangpidie (ANTARA) - Rencana eksplorasi tambang emas oleh PT Abdya Mineral Prima di Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), memicu gelombang penolakan dari masyarakat atas dasar ilmiah, pengalaman bencana, dan ancaman terhadap hak hidup warga.
“Tambang bukan hanya soal izin dan investasi. Ini soal masa depan anak-anak kami, air yang kami minum, dan tanah yang kami tanam,” tegas Yulizar Kasma, tokoh muda Kuala Batee dan akademisi bidang kesehatan lingkungan, Yulizar Kasma di Blangpidie, Selasa.
Yulizar mengingatkan bahwa proses pertambangan emas berisiko tinggi menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida. Paparan merkuri telah terbukti menyebabkan gangguan neurologis, kerusakan ginjal, dan cacat perkembangan pada anak-anak.
Baca juga: Polres Pidie tangkap tiga penambang emas ilegal
Sianida, bahkan dalam dosis rendah, dapat memicu penyakit tiroid, neuropati, hingga kematian mendadak.
“Studi di daerah tambang lain menunjukkan peningkatan kadar merkuri dalam tubuh anak-anak. Jika proses pelindian sianida digunakan di Abdya, maka kita sedang membuka pintu bagi bencana kesehatan,” ujarnya.
Krisis Air dan Kerusakan Ekologis
Penambangan emas juga berpotensi memperparah krisis air di wilayah yang sudah rentan terhadap kekeringan.
Debit sungai seperti Krueng Batee dan Panto Cut yang selama ini menopang pertanian warga, dikhawatirkan akan terserap ke dalam kawah-kawah tambang.
“Kalau air habis, pertanian akan lumpuh. Ini bukan sekadar isu ekologis, tapi ancaman terhadap ketahanan pangan lokal,” kata Yulizar.
Baca juga: 37 WNA bekerja di tambang emas Aceh Barat berstatus calon pekerja
Deforestasi, pencemaran tanah, dan peningkatan risiko longsor menjadi konsekuensi lanjutan dari aktivitas tambang. Limbah tambang (tailing) yang mengandung zat beracun dapat membuat lahan tak lagi subur dan mempercepat degradasi lingkungan.
Selain dampak fisik, lanjut dia, masyarakat juga menyoroti potensi konflik sosial, penggusuran, dan hilangnya warisan budaya. Proses perizinan yang dinilai tidak transparan memperkuat kecurigaan publik.
Salah satu gampong yang disebut dalam IUP eksplorasi, Alue Pisang, bahkan tidak pernah memberikan rekomendasi resmi.
“Ini bukan hanya soal tambang, tapi soal hak masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri,” tegas Yulizar.
Aliansi masyarakat Kuala Batee yang terdiri dari 33 lembaga telah menyampaikan penolakan resmi kepada DPRK Abdya.
Mereka (masyarakat) mendesak pemerintah kabupaten dan provinsi untuk mengevaluasi izin tambang dan mempertimbangkan moratorium pertambangan di wilayah rentan.
“Abdya pernah mengalami banjir bandang besar tahun 2002. Jangan sampai kita ulang sejarah kelam karena abai terhadap peringatan alam,” tutup Yulizar.
Baca juga: Pemkab Aceh Barat minta perusahaan hentikan tambang emas di sungai
Pewarta: SuprianEditor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025