Banda Aceh (ANTARA) - Provinsi Aceh memiliki keunikan tersendiri dalam sistem politik Indonesia, yakni keberadaan partai politik lokal. Di tengah dominasi partai nasional seperti PDIP, Gerindra, dan Golkar, Aceh menjadi satu-satunya provinsi yang diizinkan memiliki partai politik lokal sendiri.

Beberapa di antaranya adalah Partai Aceh (PA), Partai Daerah Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), dan lainnya. Sejarah keberadaan partai lokal di Aceh tidak terlepas dari konflik panjang yang pernah melanda provinsi ini.

Menurut kajian Rizkika Lhena Darwin dalam jurnal Government (2016), lahirnya partai lokal di Aceh merupakan hasil dari konflik selama lebih dari 30 tahun antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia.


Baca juga: Kemenkum Aceh tingkatkan layanan hukum partai politik lokal
 

Konflik ini akhirnya diakhiri melalui Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki tahun 2005, yang salah satu poin pentingnya adalah pengakuan terhadap keberadaan partai politik lokal. Ketentuan ini kemudian diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007, yang memungkinkan masyarakat Aceh menyalurkan aspirasinya melalui wakil-wakil daerah.

Dosen Universitas Syiah Kuala, Dr. Hamdani M.Syam menjelaskan bahwa keberadaan partai lokal tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah konflik dan upaya damai.

“Kenapa hanya di Aceh? Karena ada faktor historis. Ketika konflik berakhir dan masuk ke masa damai, ada kebutuhan bagi mereka yang dulu terlibat dalam gerakan Aceh Merdeka untuk bisa masuk ke parlemen. Untuk itu, mereka perlu memiliki partai politik sendiri,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa dalam demokrasi, keberadaan partai lokal justru memberi ruang bagi rakyat untuk menentukan pilihan secara bebas, termasuk jika mereka tidak setuju dengan pihak-pihak yang terafiliasi ke partai lokal.

Baca juga: Demokrasi, tak berlakunya label minoritas di partai politik lokal negeri syariat

Sejak awal, partai lokal seperti Partai Aceh memang berkembang menjadi kekuatan politik yang signifikan. Mereka bukan hanya menjadi kendaraan politik, tetapi juga simbol perjuangan identitas Aceh dan perwujudan semangat perdamaian dalam sistem demokrasi Indonesia.

 

Relasi Patronase

Namun, perjalanan partai lokal tidak lepas dari tantangan. Dalam praktiknya, kekuatan partai lokal kerap bergantung pada jaringan patronase relasi politik yang dibangun atas dasar loyalitas dan imbal jasa.

Konsolidasi kekuasaan lebih banyak dilakukan melalui pembagian jabatan dan proyek, ketimbang perdebatan ideologis atau visi pembangunan yang berkelanjutan.

Kini, hampir dua dekade sejak perdamaian tercapai, muncul pertanyaan besar: apakah partai lokal masih relevan?

Terkait relevansi partai lokal saat ini, Hamdani berpendapat bahwa masyarakatlah yang berhak menilai. “Kalau kita lihat realitasnya, secara dominasi kursi dan suara, partai lokal terutama Partai Aceh masih dominan. Partai-partai lokal lain memang belum terlalu menonjol, tapi keberadaan mereka tetap relevan. Kalau partai lokal dihapus, lalu di mana letak keistimewaan Aceh? Apa bedanya Aceh dengan daerah lain?” ujarnya.

Partai lokal tetap memegang peran penting sebagai penjaga identitas serta simbol otonomi dan kekhususan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, jika terus terjebak dalam pola patronase dan gagal menjawab kebutuhan rakyat, partai lokal dikhawatirkan akan semakin kehilangan relevansi.

Generasi muda Aceh kini menaruh harapan baru. Mereka menuntut agar partai lokal tidak lagi sekadar bergantung pada sejarah, melainkan hadir dengan gagasan segar dan solusi konkret terhadap persoalan ekonomi, pendidikan, dan keterbukaan politik.

Tahun 2025 menjadi titik krusial. Rakyat Aceh dihadapkan pada pilihan besar: mempertahankan warisan politik masa lalu, atau mendorong lahirnya politik baru yang bersih, progresif, dan berpihak pada masa depan.

 

Penulis: Yulisa, mahasiswa Komunikasi FISIP USK

 

DAFTAR REFERENSI

Andriyani, S. (2017). Gerakan aceh merdeka (gam), transformasi politik dari gerakan bersenjata menjadi partai politik lokal aceh. Jurnal ISIP: Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 14(1), 13.

AW, M. J. (2016). Asas Demokrasi dan Partai Politik Lokal di Provinsi Aceh. Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan, 2(1), 60-82.

Darwin, R. L. (2016). Institusionalisasi Partai Aceh: Patronase dan Konsolidasi dalam Transisi Demokrasi Pasca Konflik. GOVERNMENT: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 81-94.

Rasida, A. (2016). Partai Politik Lokal Aceh dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Doctoral dissertation, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Magelang).

Baca juga: Kasasi Kemenkumham soal SK PNA ditolak, begini respons Irwandi Yusuf



Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025