Jika publik di luar Aceh banyak membincangkan masalah terkait wacana penundaan Pemilu legislatif atau pengabungan Pemilu legislatif dan Pilpres serentak yang diusulkan 9 Juli 2014, namun di Tanah Rencong mulai panas karena perseteruan dua partai politik lokal besar.
Dua partai local besar yang hubungannya terlihat kurang harmonis itu yakni Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh. Kedua parlok tersebut sama-sama dibangun oleh para kombatan mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Memanasnya hubungan partai besar itu saat ini mengkhawatirkan banyak pihak akan bermuara pada pelaksanaan Pemilu legislatif, 9 April 2014. Bahkan, tidak sedikit pula yang mengkhawatirkan terjadinya konflik terbuka antara kedua kekuatan partai politik tersebut.
Riak-riak kecil yang dikhawatirkan rawan konflik antara Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh itu misalnya mulai dari penurunan salah satu atribut partai (PA) yang diduga dilakukan simpatisan PNA. Kemudian sekelompok orang yang diduga kader PA melakukan penggeroyokan terhadap kader PNA di Kota Lhokseumawe.
Contoh kasus lain yang dinilai rawan konflik antara PA dan PNA terjadi beberapa waktu lalu di sejumlah kabupaten dan kota di Aceh. Bahkan, sampai merenggut korban jiwa, selain juga kasus teror politik yang diduga terkait dengan PA dan PNA.
Kerawanan konflik Pemilu legislatif di Aceh itu bahkan di akui oleh Kapolda Aceh Irjen (Pol) Herman Effendi dengan melaporkan perkembangan situasi keamanan di Aceh menjelang dan perkiraan pada saat Pemilu mendatang kepada Kapolri Jenderal Polisi Sutarman.
Kapolda Aceh Irjen Pol Herman Effendi melaporkan tentang potensi konflik yang rawan terjadi antara partai politik lokal (Partai Aceh dengan Partai Nasional Aceh) menjelang Pemilu 2014.
Ia menyatakan bahwa potensi konflik di Aceh selain masih ada sisa senjata api ilegal juga ada dua partai lokal (PA dan PNA) yang cukup rawan menimbulkan konflik, dan para pengurus, caleg dan pendukung kedua parlok tersebut sama-sama mantan anggota GAM.
Kapolda menyatakan meski demikian pihaknya telah siap mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi pada pelaksanaan Pemilu, dan Polda Aceh juga telah memetakan daerah rawan konflik sebagai upaya antisipasi keamanan di provinsi ujung paling barat Indonesia itu.
Namun, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia menyiapkan pasukan cadangan untuk pengamanan pemilihan umum legislatif di Aceh maupun daerah lain di Indonesia.
"Mabes Polri telah menyiapkan kekuatan cadangan jika sewaktu-waktu kepolisian di Aceh membutuhkan bantuan," kata Kapolri Jenderal Polisi Sutarman saat berkunjung ke Banda Aceh, baru-baru ini.
Jenderal berbintang empat itu memaparkan untuk saat ini kekuatan pengamanan pemilu yang dikoordinir Kepolisian Daerah (Polda) Aceh masih cukup sehingga belum perlu dikirim kekuatan cadangan.
"Kami berharap tidak ada kerusuhan pemilu di Aceh. Kerusuhan hanya merugikan, fasilitas yang dibangun rusak hingga jatuhnya korban sia-sia. Inilah yang harus dihindari," kata Kapolri.
Jenderal Sutarman menyebutkan, kepolisian sudah mendata berbagai masalah pengamanan pemilu, termasuk di Provinsi Aceh. Dari laporannya, keamanan jelang pemilu di Aceh cukup kondusif.
"Kami, kepolisian juga harus mampu meyakinkan kepada semua pihak bahwa keamanan jelang pemilu ini kondusif dan masyarakat siap mendukung pesta demokrasi ini," katanya.
Ajakan Kapolri
Oleh karena itu, Kapolri mengajak semua pihak di Aceh, untuk bersama-sama menjaga daerah ujung barat Indonesia tersebut tetap kondusif, sehingga terpilih wakil rakyat yang mampu membawa kesejahteraan rakyat.
"Mari kita bersama-sama membantu masyarakat, sehingga Aceh tetap dalam keadaan kondusif. Dengan demikian pemerintah daerah bisa membangun untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat," kata Jenderal Polisi Sutarman.
Anggota Komisi III DPR RI HM Nasir Djamil menyatakan, aparat kepolisian harus tanggap terhadap situasi keamanan di Aceh sehingga tidak menimbulkan gejolak terutama saat pelaksanaan Pemilu Legislatif pada April 2014.
"Saya berharap aparat keamanan terutama pihak kepolisian harus tanggap, dan melakukan pencegahan jika potensi konflik menjelang pemilu sudah mulai terlihat sejak dini," katanya menjelaskan
Jadi, HM Nasir mengharapkan pihak kepolisian mulai dari tingkat Polda hingga Polsek se Aceh agar melakukan upaya-upaya dini untuk mencegah jangan sampai konflik antara partai politik pecah di Aceh.
"Kami berharap Polri mengedepankan fungsi-fungsi kepolisian bekerja sama dengan TNI misalnya ditingkat paling rendah yakni Babinsa untuk mendeteksi berbagai potensi konflik yang rawan menjelang Pemilu," katanya menambahkan.
Sebab, Nasir menjelaskan pernyataan Kapolda Aceh terkait dengan kerawanan konflik itu akan lebih baik atau efektif dengan mengedepankan fungsi-fungsi intelinjen, sebaliknya jika tidak aksi dilapangan maka berarti kepolisian ikut menyumbangkan konflik di provinsi ini.
"Karena mereka (Polri) sudah tahu bahwa bakal terjadi kerawanan konflik antar partai, tapi tidak mau melakukan pencegahan sejak dini melalui fungsi-fungsi intelijen tersebut," kata anggota DPR RI daerah pemilihan Aceh itu.
Bahkan, Nasir Djamil mengatakan Komisi III DPR RI dalam setiap dengar pendapat selalu menyarankan agar dilakukan pencegahan sejak dini sebelum konflik itu terjadi.
Selama ini, ia menilai mungkin fungsi-fungsi intelijen sedikit melemah sehingga tidak mampu mendeteksi dini setiap adanya potensi konflik ditengah-tengah masyarakat.
"Bisa saja fungsi intelijen selama ini kurang maksimal bisa saja karena kurangnya pendanaan sehingga tidak bisa memetakan potensi-potensi konflik di tengah-tengah masyarakat kita," kata dia menambahkan.
Sementara itu, jurubicara PNA Thamren Ananda menyatakan keyakinannya tidak terjadi konflik pada pelaksanaan Pemilu April 2014 jika pihak kepolisian mengatasi "ketegangan" saat ini dengan melakukan penegakan hukum yang benar.
Sedangkan jurubicara Partai Aceh Fachrul Razi mengatakan pihaknya telah mengimbau para kader, caleg dan pendukung partai agar turut serta menjaga perdamaian dan melakukan kampanye dengan cara-cara cerdas, dan demokratis.
Gabungan Solidaritas Anti Korupsi (GaSAK) meminta Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panwaslu terutama di Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh agar menjaga transparansi dan independensinya pada pelaksanaan Pemilu 2014.
"Transparansi dan independensi sebagai penyelenggara pemilu dibutuhkan sehingga dapat mengatasi pesta demokrasi yang rentan diintervensi," kata Koordinator GaSAK Mukhlis Munir.
Mukhlis mencontohkan, operator komputer dari penyelenggara pemilu yang memasukan data suara pemilu di tingkat kecamatan rentan diintervensi untuk mengutak-atik perolehan suara caleg, terutama antar caleg partai yang sama.
Penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan ini patut menjadi perhatian, sehingga pada pemilu legislatif 2014, mereka tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, kata dia.
Sementara, Ketua KIP Bireuen Mukhtaruddin mengatakan seorang penyelenggara pemilu membantu salah satu parpol karena ada kepentingan. Namun begitu, ia meyakinkan bahwa setiap penghitungan suara dilakukan secara terbuka.
"Bila ada saksi dari parpol yang keberatan dengan jumlah suara, maka sampaikan kepada penyelenggara pemilu. Pengalaman pada pemilu sebelumnya, belum ada yang ajukan keberatan. Namun begitu, secara moral sulit mengukur independensi seorang penyelenggara pemilu," katanya.
Harapan Aceh aman dan damai setelah keluar dari ketegangan akibat konflik bersenjata sebelum MoU damai ditandatangani di Helsinki 15 Agustus 2005 tidak akan tercederai jika pelaksanaan Pemilu berjalan jujur, adil dan demokratis.
Cukuplah penderitaan masyarakat Aceh akibat konflik berkepanjangan yang disertai prahara bencana dahsyat tsunami 26 Desember 2004, dengan harapan masa depan provinsi berpenduduk lima juta jiwa itu akan lebih baik dan maju setelah pelaksanaan Pemilu 2014 berjalan aman dan damai.
Editor :
COPYRIGHT © ANTARA 2025