Nagan Raya (ANTARA) - Ahli dan instruktur jasa konstruksi Ir Samsunan MT menyebutkan pembangunan ruas jalan yang dilaksanakan oleh Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Provinsi Aceh, berlokasi di depan PLTU 1-2 Nagan Raya, Aceh terkesan mengabaikan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) No. 10 Tahun 2021.

“Karena dalam pelaksanaan pekerjaan, masyarakat sekitar proyek dan masyarakat terpapar dampak proyek tidak ada pemenuhan standar keamanan, keselamatan, kesehatan dan keberlanjutan,” kata Samsunan Mahmud yang juga akademisi Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat kepada ANTARA, Sabtu. 

Ia menjelaskan, selama pekerjaan berlangsung hingga saat ini, penyelenggara proyek diduga tidak melaksanakan amanat Peraturan Menteri PUPR  tersebut.

Pada pasal 2 ayat (6) dalam peraturan dimaksud, kata dia, disebutkan pemenuhan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dengan menjamin: keselamatan keteknikan konstruksi; b. keselamatan dan kesehatan kerja; keselamatan publik; dan keselamatan lingkungan.

Pada ayat (9) dalam peraturan menteri tersebut juga disebutkan sasaran atau objek keselamatan publik terdiri atas: a. masyarakat di sekitar proyek; dan masyarakat terpapar.

Dan pada Pasal 2 ayat (10) juga disebutkan sasaran atau objek keselamatan lingkungan terdiri atas: a. lingkungan kerja; b. lingkungan terdampak proyek; c. lingkungan alam; dan d. lingkungan terbangun.

Samsunan juga menambahkan dalam pelaksanaan pekerjaan juga tidak diterapkan Usaha Kesehatan Kerja (UKK) sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2021 yaitu petugas tanggap darurat dan petugas pengatur lalulintas. 

Kondisi ini, kata dia, membuat jalan sering macet karena jalan tersebut merupakan lintasan jalan nasional penghubung antar kabupaten serta jalan utama ke ibukota provinsi.

Pelaksanaan pekerjaan yang didanai oleh pemerintah pusat tersebut, juga ia nilai terkesan lamban karena sampai saat ini pelaksanaan pengerasan kaku (pengecoran) baru selesai sekitar 800 meter pada satu jalur, dimana pekerjaan dilakukan dua jalur sepanjang sekitar 1000 meter (1 KM).

Samsunan yang juga instruktur konstruksi juga menyebutkan model pekerjaan kaku (cor beton) membutuhkan waktu lebih lama karena menunggu masa pengerasan beton paling sedikit 28 hari setelah pengecoran, sehingga dikhawatirkan pekerjaan jalan yang saat ini sedang dikerjakan, juga tidak akan selesai tepat waktu dan akan berdampak buruk bagi pengguna jalan yang merembet kepada perekonomian masyarakat.

Dalam pelaksanaan pembangunan jalan tersebut, semua aspal lama sudah dibongkar dan ditimbun dengan material timbunan. Namun kondisi badan jalan yang sudah ditimbun tersebut tidak dilakukan pemeliharaan secara rutin, sehingga badan jalan sering dibiarkan berlubang besar dan sangat beresiko bagi pengguna jalan. 

“Banyak pengguna kendaraan roda dua mengalami kecelakaan/jatuh akibat terjebak lobang pada badan jalan,” katanya menambahkan.

Kondisi badan jalan yang belum dikerjakan dan saat ini digunakan oleh pengguna lalulintas sebagai jalan darurat dan ini merupakan jalan utama wilayah pantai barat-selatan Aceh.

Kondisi lambatnya pekerjaan tersebut juga berdampak pada kendaraan ambulans yang membawa pasien rujukan dari RSU Daerah kabupaten/kota ke RSUD Zainal Abidin di Banda Aceh.

Di sisi lain, jalan ini juga urat nadi perekonomian pantai barat-selatan Aceh dengan provinsi Sumatera Utara, dimana masyarakat Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Barat menuju ke provinsi Sumatera Utara. Sehingga sangat berdampak pada pasokan kebutuhan yang berasal dari Provinsi Sumatera Utara, demikian Samsunan MT.

Pewarta: Teuku Dedi Iskandar
Editor : Heru Dwi Suryatmojo
COPYRIGHT © ANTARA 2025