Jakarta (ANTARA) - Bencana hidrometerologi berupa banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, terjadi bukan semata karena faktor alam. Bencana ini adalah dampak dari proses panjang akibat masalah tata kelola lingkungan yang terakumulasi bertahun-tahun.
"Terlihatnya ini sesuatu yang akumulasi ya. Jadi, ini sebetulnya akibat dari pengelolaan yang bertahun-tahun ya, belasan tahun jadi bukan hanya sesaat," kata CEO WWF Indonesia Aditya Bayunanda dalam keterangan resmi WWF, di Jakarta, Kamis.
Akar persoalan penyebab bencana jauh lebih kompleks dan tidak bisa ditimpakan hanya kepada salah satu menteri yang kini menjabat.
Akar penyebab bencana harus dilihat dari rangkaian kebijakan masa lalu yang memberikan ruang besar bagi eksploitasi kawasan hutan tanpa mitigasi yang memadai.
Berbagai izin yang dikeluarkan di masa lalu menjadi bagian dari masalah struktural yang kini menimbulkan bencana besar.
Sehingga, tidak tepat apabila publik hanya menyalahkan menteri yang sedang menjabat.
“Jelas ini bukan kesalahan ataupun sesuatu tanggung jawab yang hanya bisa dibebankan untuk menteri sekarang, karena ini akumulasi dari kebijakan ataupun pemberian izin menteri-menteri dahulu juga,” katanya.
Selain soal perizinan, Aditya menyoroti lemahnya kepatuhan pemegang izin terhadap regulasi perlindungan lingkungan.
Salah satu yang paling krusial ialah aturan mengenai perlindungan sepadan sungai, yang sebenarnya telah dibuat untuk mencegah banjir bandang. Tapi, implementasinya di lapangan tidak konsisten.
“Banyak sekali kita lihat perkebunan itu membuat kebunnya itu ya sampai pinggir sungai. Misalnya untuk konteks pertambangan dan sebagainya. Jadi, bahkan bisa dibilang hanya sebagian kecil yang betul-betul menjalankan upaya untuk melindungi sepadan sungainya," katanya.
Jalan keluar dari persoalan ini adalah membenahi tata kelola hutan secara menyeluruh, mulai dari audit izin lama, penegakan aturan perlindungan sungai, hingga pengawasan yang lebih kuat.
Pewarta: Andi FirdausEditor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025