Banda Aceh (ANTARA) - Psikolog klinis dari Universitas Syiah Kuala, Zahrani, mengingatkan bahwa pemberitaan bunuh diri yang disampaikan secara tidak bijak dapat menimbulkan peningkatan jumlah kasus atau efek werther.
“Ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa pemberitaan bunuh diri yang dilakukan terus-menerus itu justru semakin meningkatkan jumlah angka bunuh diri di daerah atau negara tertentu,” kata Zahrani di Banda Aceh, Kamis.
Efek werther sendiri merupakan istilah yang pertama kali muncul dari novel "The Sorrows of Young Werther" karya Johann Wolfgang von Goethe yang terbit pada tahun 1774.
Baca juga: Fenomena 'self harm' disinyalir mulai terjadi di kalangan mahasiswa Aceh
Istilah ini merujuk pada fenomena ketika pemberitaan tentang kasus bunuh diri disampaikan secara rinci, sensasional, bahkan diromantisasi justru memicu kasus bunuh diri lainnya, terutama di kalangan orang yang memiliki ide untuk bunuh diri (suicide ideation).
Zahrani menjelaskan bahwa secara psikologis, pemberitaan kasus bunuh diri terutama yang ditulis secara detail, seperti menyebutkan metode, lokasi detail, dan isi catatan bunuh diri berpotensi besar mendorong individu yang telah memiliki ide untuk bunuh diri melakukan tindakan tersebut.
“Awalnya dia hanya punya ide saja, tetapi tidak punya keberanian. Terus ketika dia baca berita seperti itu, maka terdorong untuk melakukan karena dia merasa bahwa dia tidak sendirian. Ada juga nih orang yang melakukan suicide,” katanya.
Karena itu, Zahrani mengingatkan jurnalis perlu bijak dalam melaporkan peristiwa bunuh diri. Terlebih lagi, dalam penelitian yang ia lakukan terhadap 407 mahasiswa di Banda Aceh, hasilnya terdapat sebanyak 80 orang mengaku memiliki ide bunuh diri, sementara empat di antaranya telah memiliki ide yang serius karena sudah memikirkan metode dan rencana.
“Nah, karenanya perlu berhati-hati dalam memberitakan, jangan sampai menginspirasi,” katanya.
Dia pun menyarankan agar jurnalis fokus pada hal-hal yang solutif dalam pemberitaan, seperti mendorong pencarian bantuan, menyampaikan tanda-tanda risiko, dan memberikan informasi layanan dukungan psikologis.
“Yang paling penting ketika melaporkan suicide itu adalah support apa yang bisa dilakukan, atau apa yang harus dilakukan bagi orang yang punya suicide ideation,” katanya.
Baca juga: Dirjen HAM: Kesehatan mental adalah hak asasi
Pedoman Pemberitaan
Sementara itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Reza Munawir, menyampaikan bahwa Dewan Pers telah mengeluarkan pedoman khusus tentang pemberitaan bunuh diri. Namun, dalam praktiknya, masih banyak jurnalis yang luput dalam menerapkan pedoman tersebut.
“Sebetulnya kita sudah punya pedoman dari Dewan Pers. Tantangannya adalah masih ada jurnalis tidak menggunakan itu kadang-kadang. Saya nilai sih lupa bahwa kita punya pedoman itu, atau tidak membaca. Jadi pada ujungnya jurnalis harusnya tahu diri, bahwa ada pedoman-pedoman khusus untuk kasus tertentu,” katanya.
Lebih lanjut, Reza menyoroti persoalan redaksional, seperti hilangnya jenjang redaksi—mulai dari redaktur hingga editor—menjadi penyebab maraknya pemberitaan kasus bunuh diri yang tidak ditulis secara bijak tanpa melalui proses penyuntingan yang ketat akhirnya tersebar luas di berbagai media.
“Karena kita yang meliput, kita yang mengedit, kita yang publish. Itu membuat kondisi menjadi makin buruk. Dulu ada jenjang yang bisa jadi pelindung terakhir jika wartawan di lapangan lupa,” katanya.
Dalam kesempatan ini, Reza menekankan pentingnya bagi jurnalis untuk memegang teguh kode etik dan pedoman dari Dewan Pers, tidak hanya dalam pemberitaan kasus bunuh diri, tetapi juga dalam kasus-kasus lain seperti kekerasan seksual dan pemberitaan anak, yang masing-masing memiliki pedoman khusus.
“Minimal pegang kode etik itu akan minim terjadi kekeliruan. Apalagi, untuk berita yang sensitif seperti itu, jurnalis enggak boleh sepele karena dampak dari pemberitaan itu bermacam-macam bisa bertahan lama, apalagi di era digital sekarang,” katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Psikolog sebut pemberitaan bunuh diri tidak bijak picu 'efek werther'
Pewarta: Nurul HasanahEditor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025