"Walaupun KIP secara hirarki adalah bagian dari KPU RI, namun nomenklatur pembentukan KIP menggunakan undang-udang yang hanya berlaku untuk Aceh sehingga penambahan nama KIP hanya ada di Aceh sebab pembentukannya menggunakan Undang-udang Pemerintahan Aceh (UUPA)," katanya di Lhokseumawe, Senin (23/12).
Mantan Ketua KIP Aceh Utara periode 2013-2018 tersebut juga menegaskan UUPA itu bukan undang-undang Aceh, akan tetapi UU Republik Indonesia yang mengatur tentang Pemerintahan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"KIP yang dilahirkan dengan UUPA berkewajiban untuk melaksanakan pasal-pasal yang diatur di dalam UUPA khususnya bab tentang pemilihan termasuk menyangkut jadwal dan tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah," katanya.
Dikatakannya, UUPA BAB X pasal 65 jelas mengatur bahwa gubernur/wakil gubernur, bupati/ wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam satu pasangan dipilih secara langsung oleh rakyat setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
Kemudian di dalam Qanun Aceh nomor 12 tahun 2016 tentang Pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota BAB XI pasal 101 ayat 3, pemungutan suara serentak pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota hasil pemilihan 2017 dilaksanakan pada tahun 2022.
"Kalau merujuk kepada UUPA dan Qanun 12 tahun 2016 KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota sudah seharusnya mempersiapkan seluruh hal yang berkenaan dengan Pilkada 2022 termasuk tahapan dan jadwal serta persiapan anggaran yang diperlukan untuk pelaksanaan agenda Pilkada tersebut," kata Jufri.
Dikatakannya lagi, pihaknya tentu tidak menginginkan dalam setiap momen pilkada di Aceh terjadi konflik regulasi untuk itu perlunya semua pihak baik di daerah maupun di pusat untuk tunduk kepada peraturan yang sudah dikeluarkan apalagi Aceh memiliki UU yang mengatur secara khusus tentang hal tersebut.
"Hal ini sudah diperkuat oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 66/2017," katanya polisi Partai Gerindra itu.
Terkait polemik pilkada di Aceh, kata dia, DPD Partai Gerindra Aceh juga sudah mengeluarkan rekomendasi agar Pilkada Aceh bisa dilaksanakan pada tahun 2022 sebagaimana disampaikan oleh Ketua DPD Partai Gerindra Aceh pada saat rakorda di Banda Aceh pada tanggal 22 November 2019.
Sementara itu politisi Partai Aceh Razali Abu atau yang kerap disapa Abu Lapang menyampaikan bahwa pemerintah pusat jangan menyamakan Aceh dengan wilayah lain di Indonesia. Aceh adalah daerah khusus dan itu dibuktikan dengan disahkannya UU No 11 tahun 2006 yang mengatur tentang kekhususan Aceh,
"UUPA itu tidak lahir dengan sendirinya tetapi buah dari konflik panjang antara Pemerintah RI dengan GAM, konsekuensi penyelesaian konflik Aceh disepakatilah perjanjian damai di Helsinki yang kemudian sebagian dari isi perjanjian tersebut dituangkan ke dalam UUPA," kata Ketua Komisi III DPRK Aceh Utara itu.
Mantan komandan GAM ini juga menyebutkan bahwa UUPA itu bukan produk DPRA tapi produk pemerintah pusat yang sudah diundang-undangkan Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah wajib menjalankan UU sepanjang UU itu belum dicabut atau direvisi.
"Masyarakat Aceh sudah jenuh kalau setiap menjelang pilkada kemudian menimbulkan konflik regulasi di Aceh oleh karena itu Pemerintah Aceh, DPRA dan seluruh elemen masyarakat Yg peduli terhadap Aceh wajib memperjuangkan kekhususan Aceh sebagaimana tertuang di dalam UUPA," kata Abu Lapang.
Pewarta: Dedy SyahputraEditor : Heru Dwi Suryatmojo
COPYRIGHT © ANTARA 2025