Banda Aceh (ANTARA) - Pengamat ekonomi Willy Arafah mengatakan distribusi liquefied petroleum gas (elpiji) di wilayah bencana jauh lebih sulit dibandingkan bahan bakar minyak (BBM).
"Kompleksitas akses jalan darat yang rusak atau terputus serta faktor keamanan menjadi penyebab utama lambatnya penyaluran elpiji saat terjadi bencana alam seperti yang terjadi di Provinsi Aceh," kata Willy Arafah dalam keterangan tertulis diterima di Banda Aceh, Selasa.
Menurut dia, rusaknya akses jalan seperti jembatan terputus dan badan jalan longsor akibat bencana di Aceh memberikan dampak lebih besar terhadap distribusi elpiji dibandingkan dengan BBM.
Baca juga: Dinas ESDM Aceh pastikan kuota elpiji mencukupi
Ini disebabkan infrastruktur penyimpanan dan pengisian elpiji yang lebih khusus dan terbatas, sehingga ketika ada kerusakan, pasokannya terhambat secara signifikan.
Selain itu, elpiji memerlukan penanganan yang lebih hati-hati karena risiko kebakaran yang lebih tinggi, yang membuat proses distribusinya menjadi lebih rumit.
Guru Besar Universitas Trisakti ini menjelaskan perbedaan mendasar dalam rantai pasok elpiji dan BBM. Pertama, distribusi elpiji memerlukan fasilitas penyimpanan dan pengisian khusus.
Seperti tangki gas dan terminal, kata dia, dirancang untuk menangani gas bertekanan. Jika infrastruktur ini mengalami kerusakan, distribusi elpiji dapat terhambat secara signifikan.
"Sebaliknya, BBM dapat disimpan dan didistribusikan melalui berbagai jenis fasilitas yang lebih umum, seperti SPBU, yang lebih mudah diakses dan jumlahnya lebih banyak," kata Willy Arafah.
Selain itu, faktor keamanan dan pengamanan elpiji dan BBM juga berbeda. Meskipun BBM juga berisiko, tetapi penanganannya sering kali lebih terstandarisasi dan dapat dilakukan dengan lebih cepat.
"Elpiji memiliki risiko kebakaran dan ledakan yang lebih tinggi, sehingga memerlukan prosedur penanganan yang lebih ketat. Dalam situasi darurat, hal ini dapat memperlambat proses distribusi karena perlunya evaluasi keamanan yang lebih mendalam," katanya.
Willy Arafah menjelaskan proses distribusi elpiji hingga sampai ke masyarakat memang lebih panjang. Elpiji harus dikirim dari pabrik ke stasiun pengisian bulk elpiji (SPBE) menggunakan truk tangki khusus.
Kemudian, melalui proses pengisian tabung dengan standar keamanan ketat sebelum didistribusikan ke agen dan pangkalan. Dan selanjutnya disalurkan kepada masyarakat, katanya.
"Secara keseluruhan, proses distribusi elpiji membutuhkan waktu lebih lama karena melibatkan langkah-langkah keamanan yang ketat, keterbatasan infrastruktur, dan ketergantungan pada kondisi transportasi, serta fluktuasi permintaan yang dapat mempengaruhi kecepatan distribusi," katanya.
Willy Arafah meminta masyarakat memahami apabila distribusi elpiji di wilayah bencana belum sepenuhnya normal. Keterbatasan layanan merupakan konsekuensi dari kerusakan infrastruktur dan prosedur keselamatan yang tidak bisa dikompromikan.
Masyarakat juga perlu memahami beberapa hal penting untuk melihat persoalan distribusi elpiji. Ketergantungan pada infrastruktur yang baik, seperti jalan, terminal, dan fasilitas penyimpanan, sangat krusial.
"Kerusakan infrastruktur akibat bencana alam dapat mengganggu pasokan elpiji secara signifikan, sehingga penting bagi masyarakat untuk menyadari dampak yang mungkin terjadi," demikian Willy Arafah.
Baca juga: Pertamina kirim BBM dan elpiji via udara ke Bener Meriah
Pewarta: M.Haris Setiady AgusEditor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025