Jakarta (ANTARA) - Ketika Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) "mengepung" wilayah Bangka Belitung (Babel) pada Oktober 2025, banyak yang memandangnya sekadar operasi militer untuk menertibkan tambang ilegal. Tapi bila dicermati lebih dalam, perintah itu mengandung pesan strategis, dimana Indonesia sedang berusaha merebut kembali kedaulatan ekonomi atas salah satu sumber daya paling langka dan paling penting di abad ke-21, yaitu Rare Earth Elements (REE) atau logam tanah jarang.
China saat ini menguasai sekitar 69.2 persen produksi global REE dan yang lebih penting, mengontrol hampir 90 persen kapasitas pemrosesan dan pembuatan magnet dunia. Dominasi ini memberinya leverage geopolitik yang signifikan, yang telah digunakan seperti dalam pembatasan ekspor pada April 2025 sehingga memicu lonjakan harga hingga 598 persen untuk Yttrium.
Sedangkan AS, melalui Inflation Reduction Act dan investasi Departemen Pertahanan, serta Uni Eropa dengan Critical Raw Materials Act, berusaha membangun kembali rantai pasok mereka sendiri untuk mengurangi ketergantungan. Ini memicu apa yang disebut sebagai "green arms race" atau perlombaan senjata hijau.
Baca juga: Membaca Peta Rivalitas Latihan Militer AS-China di "Panggung" Asia Tenggara
REE tidak hanya vital untuk teknologi hijau seperti mobil listrik dan turbin angin, tetapi juga menjadi tulang punggung alat pertahanan modern. Sebuah jet tempur F-35 membutuhkan 417 kilogram REE, sementara kapal selam nuklir kelas Virginia membutuhkan lebih dari 4 ton.
Harta Karun di Tengah Lumpur
Bangka Belitung bukan wilayah baru dalam peta kekayaan mineral Indonesia. Sejak masa kolonial, pulau ini menjadi tulang punggung produksi timah dunia. Namun, di balik lapisan tailing sisa dari aktivitas peleburan timah selama puluhan tahun, ternyata tersimpan mineral berharga lain, logam tanah jarang.
Presiden Prabowo menyebut penemuan itu sebagai “harta karun bangsa yang selama ini dibuang ke laut”. Dalam kunjungannya ke lokasi tambang pada awal Oktober, ia menegaskan, “Kita tidak boleh lagi menjadi penonton dari kekayaan sendiri. Negara tidak boleh kalah dari mafia tambang."
Data dari Kementerian ESDM dan laporan internal MIND ID menunjukkan bahwa tailing tambang di Babel mengandung mineral monasit salah satu sumber utama logam tanah jarang seperti neodymium (Nd), praseodymium (Pr), dan yttrium (Y). Mineral-mineral ini sangat dibutuhkan dalam industri baterai, turbin angin, kendaraan listrik, hingga sistem pertahanan mutakhir seperti radar dan misil berpemandu.
Dengan kata lain, selama ini kita membiarkan kekayaan strategis itu tercecer di lumpur. Maka tidak heran jika Prabowo memilih cara keras: mengerahkan TNI untuk mengamankan wilayah, menghentikan penyelundupan, dan menertibkan 1.000 titik tambang ilegal yang merugikan negara hingga triliunan rupiah setiap tahun.
Dari Tambang Ilegal ke Operasi Nasional
Instruksi “kepung Babel” bukanlah metafora. Dalam laporan CNBC Indonesia (22 Oktober 2025), disebut bahwa TNI bersama Polri dan Bea Cukai diperintahkan menutup jalur laut, mengawasi pelabuhan tikus, dan mengamankan titik-titik produksi timah yang terindikasi ilegal.
Bangka Belitung mengalami krisis darurat tambang karena sekitar 80 persen produksi timah tidak legal, melibatkan tambang rakyat tanpa izin dan smelter ilegal. Timah tersebut kemudian diperdagangkan ke pasar gelap internasional, terutama ke Singapura, Malaysia, dan Cina, melalui modus-modus tertentu yang tidak resmi.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengatakan, aktivitas pertambangan timah pun sudah melekat dilakukan oleh masyarakat Babel. Sayangnya, pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut tidak berizin alias ilegal dan masuk dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Timah Tbk (TINS).
Dalam satu dekade terakhir, struktur ekonomi Babel makin rapuh. Data BPS menunjukkan bahwa 40 persen PDRB daerah bergantung pada sektor pertambangan timah. Ketika tambang ilegal meluas, bukan hanya pendapatan negara yang bocor, tapi juga ekosistem sosial rusak mulai laut tercemar, pesisir hancur, dan masyarakat lokal terjerat hutang berkelanjutan.
Langkah TNI di sini bukan semata operasi keamanan. Ini adalah operasi ekonomi nasional, upaya untuk merebut kembali kontrol negara atas sumber daya strategis. Sejumlah analis mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan oleh Presiden Prabowo adalah bentuk pengamanan berbasis sumber daya strategis.
Halaman selanjutnya: Arti strategis pengepungan
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025