Banda Aceh (ANTARA) - Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) Banda Aceh Nursyam mengajukan enam persoalan terkait wacana pemberlakuan deffered presecution agreement (DPA) atau perjanjian penuntutan yang ditangguhkan oleh Kejaksaan Agung RI.

"DPA merupakan bentuk alternatif penyelesaian perselisihan yang dilakukan di luar pengadilan, dengan cara penangguhan penuntutan berdasarkan persyaratan tertentu," kata Nursyam di Banda Aceh, Rabu.

Pernyataan tersebut disampaikan Nursyam pada seminar hukum dalam rangka peringatan hari lahir Kejaksaan RI ke-80 di Aula Kejaksaan Tinggi Aceh.

Baca juga: Efendi jabat Panitera Pengadilan Tinggi Banda Aceh

Seminar mengusung tema optimalisasi pendekatan follow the asset dan follow the money melalui DPA dalam penanganan perkara pidana menghadirkan narasumber Prof Mohd Din, guru besar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan Ketua Peradi Aceh Zulfikar Sawang.

Menurut dia, DPA merupakan pendekatan progresif dalam sistem peradilan pidana yang memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahannya tanpa harus menjalani proses peradilan yang panjang. 

"Utamanya dalam proses peradilan pidana perekonomian yang dianggap dapat menghancurkan korporasi," kata dia.

Adapun enam persoalan menurut KPT, yakni pertama, kapan atau bilamana DPA dilakukan. Apakah sebelum pelimpahan berkas perkara atau setelah berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan.

Kedua, siapa subjek pelaku yang dapat melakukan DPA. Apakah hanya korporasi atau dapat pula individu. Ketiga, jenis perkara apa yang dapat melakukan DPA.

Kemudian, keempat jangka waktu pelaksanaan DPA. Perlu tidaknya izin atau persetujuan pengadilan sebelum pelaksanaan DPA. Serta keenam, bagaimana pengawasan selama pelaksanaan DPA.

Selain enam persoalan di atas, KPT merujuk pada beberapa undang-undang dan peraturan Mahkamah Agung. 

Nursyam juga menyampaikan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam penerapan DPA, yakni adanya kerja sama (cooperation) yang akan meningkatkan kemungkinan suatu DPA ditawarkan, dinegosiasikan, dan disetujui. 

Berikutnya, adanya kepatuhan, di mana prinsip kepatuhan beroperasi secara prospektif dan retrospektif sebagai faktor yang mendukung penangguhan penuntutan, serta sebagai ketentuan dalam DPA. 

Serta adanya kompensasi, di mana terhadap para korban atau pihak yang dirugikan merupakan pertimbangan kepentingan publik dalam menilai apakah pantas untuk melakukan penundaan penuntutan, serta dapat menjadi syarat dalam perjanjian DPA. 

"Kami berharap agar konsep DPA yang digagas oleh Kejaksaan Agung dapat diatur dalam RUU KUHAP yang akan datang," kata Nursyam.


Baca juga: Pengadilan Tinggi Banda Aceh putuskan 44 perkara korupsi sepanjang 2024



Pewarta: M.Haris Setiady Agus
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025