Banda Aceh (ANTARA) - Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al Haythar menekankan agar generasi muda Aceh dan Indonesia harus menjadi penjaga perdamaian Aceh yang telah terawat hingga 20 tahun ini. 

"Kepada generasi muda Aceh dan Indonesia, agar menjadi penjaga damai, bukan pewaris luka," kata Tgk Malik Mahmud Al Haythar dalam keterangannya, di Banda Aceh, Kamis.

Penegasan itu disampaikan saat menjadi pembicara pada kegiatan Commemoration of the 20th Anniversary of the Aceh Peace Agreement, dengan tajuk refleksi dari kepemimpinan Aceh dalam proses perundingan, di Jakarta.

Baca juga: Prof Mukhlis Yunus: Aceh harus mandiri setelah 20 tahun perdamaian

Kegiatan ini turut dihadiri Wakil Presiden RI ke 10-12 Jusuf Kalla, mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin, dan salah seorang inisiator perdamaian Aceh asal Finlandia Juha Christensen.

Selain menitip perdamaian, Tgk Malik juga berpesan kepada generasi muda Aceh untuk mengenang sejarah, hormati pengorbanan para syuhada. 

"Tetapi, tetap maju dengan visi baru untuk Aceh yang damai, bermartabat dalam bingkai keindonesiaan yang adil dan demokratis," ujar mantan perdana Menteri GAM itu.

Dirinya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah menjaga dan merawat perdamaian hingga hari ini. 

Khususnya kepada Crisis Management Initiative (CMI) dan Pemerintah Finlandia yang memainkan peran penting dalam memfasilitasi proses perdamaian 2005 silam.

Tgk Malik menegaskan, momentum dua dekade perdamaian Aceh atau penandatanganan MoU Helsinki ini harus dijadikan sebagai titik evaluasi dan revitalisasi semangat perdamaian.

Proses perundingan di Helsinki, kata Wali Nanggroe, bukan semata-mata proses politik, tetapi juga sebuah langkah batin, dan penyembuhan kolektif. 

“Kami menyadari bahwa perjuangan sejati bukan hanya di medan perlawanan, tetapi di medan keberanian untuk berdialog, untuk mengakui luka masing-masing, dan bersama-sama membangun harapan baru bagi generasi mendatang," katanya.

Sebagai orang yang terlibat langsung dalam proses MoU Helsinki, dirinya menyaksikan sendiri bahwa perdamaian tidak pernah lahir dari rasa menang atau kalah. Perdamaian sejati, lahir dari keberanian untuk memahami dan menghargai satu sama lain. 

"Karena itu, perjanjian Helsinki bukan hanya hasil dari negosiasi dua pihak, melainkan warisan bersama antara Aceh dan Indonesia, yang menandai kemenangan akal sehat, kebijaksanaan, dan cinta kepada rakyat," ujarnya.

Dirinya menambahkan, perdamaian bukan akhir, tetapi awal dari perjuangan baru untuk keadilan, pembangunan, dan penghormatan terhadap hak-hak dasar rakyat Aceh sebagaimana dijanjikan dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Harus diakui, lanjut dia, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Aceh dan Pemerintah Indonesia, mulai dari implementasi butir-butir perjanjian damai, pemenuhan hak-hak korban konflik, dan penguatan lembaga lokal agar mampu berdiri tegak dalam sistem otonomi bermartabat.

Ia kembali menekankan, perdamaian tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang telah selesai, tetapi harus terus dipelihara, ditumbuhkan, dan diperjuangkan pada ruang-ruang kebijakan, di ruang publik, terutama di hati setiap anak bangsa.

Kepada Pemerintah Indonesia, Wali Nanggroe mengajak dengan penuh hormat untuk merawat komitmen yang telah dibangun bersama.

“Implementasi perjanjian damai bukan semata-mata soal administrasi atau politik, tetapi soal menjaga kepercayaan, membangun masa depan yang damai dan setara. Semoga Allah SWT meridhai setiap ikhtiar kita untuk menjaga dan memperkuat perdamaian untuk Aceh, Indonesia, dan dunia,” demikian Tgk Malik Mahmud.


Baca juga: UIN Ar-Raniry luncurkan Magister Internasional Studi Perdamaian



Pewarta: Rahmat Fajri
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025